Tragedi Pilu Putra Sang Fajar

Genap sudah 50 tahun kepergiannya, namun Soekarno masih saja meninggalkan beragam kisah dan pertanyaan menarik untuk ditelisik. Termasuk tragedi memilukan diakhir hidupnya.

Sejarawan Perancis, Jacques Leclerc mengatakan bahwa Soekarno telah dibunuh dua kali pada tahun 1970.

Tanggal 21 Juni 1970, dia wafat setelah menderita sakit dan tidak menerima perawatan yang semestinya.

Sebagai mantan presiden, Soekarno tidak mendapatkan pengobatan terbaik yang seharusnya ia terima sama dengan yang diterima presiden setelahnya.

Sebelumnya tanggal 1 Juni 1970, Perayaan Hari Lahir Pancasila di larang diperingati oleh Kopkamtib. Bahkan Nugroho Notosusanto menyatakan, bukan Soekarno yang pertama kali mencetuskan Pancasila.

Pemikiran dan gagasan-gagasan besarnya seperti yang diungkapkan dalam pidato atau dituangkan dalam tulisan-tulisannya dicurigai dan diperiksa oleh MPRS.

Makanya Leclerc menyimpulkan hakekatnya Bung Karno telah dibunuh dua kali, secara lahiriah dan secara batiniah.

Bahkan ada sebuah buku berjudul Soekarno File, Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan yang ditulis Antonie C.A. Dake.

Buku ini memicu kontroversi karena isinya memberi kesimpulan, “Ternyata presiden pertama Indonesia itu merupakan biang yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi pada paruh akhir tahun 1965. Makanya ia harus memikul tanggung jawab atas pembunuhan enam orang jenderal.”

Dake juga menulis, “Soekarno secara tidak langsung turut andil dalam saling bantai antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian.”

Seperti diduga banyak pengamat. Buku Soekarno File menuai banyak reaksi, terutama dari keluarga Bung Karno.

Saat diluncurkan pada tanggal 17 November 2005, di sebuah Restoran di Wisma Kodel Kuningan Jakarta. Buku ini mendapat reaksi keras dari Sukmawati Soekarnoputri yang hadir di acara tersebut.

Beberapa hari kemudian, Megawati dengan berang mengatakan bahwa Dake telah melakukan semacam “Character assassination” atau pembunuhan karakter terhadap Sang Proklamator.

******

Begitulah tragedi yang dialami oleh Putra Sang Fajar. Sebuah pergumulan dengan nasib yang tidak dapat ia menangkan. Ia dikalahkan diakhri hayatnya.

Mungkin saat muda, gampang menebak kariernya di masa depan.

Sewaktu ikut H.O.S Tjokroaminoto, Soekarno telah menunjukkan bakat kebesarannya. Ia sudah biasa latihan pidato diatas meja. Saat orasi itu ia sudah membayangkan berbicara di depan massa.

Ketika para pemuda ikrar bersatu, tanggal 28 Oktober 1928, Soekarno sudah mendirikan Partai dan berpidato di mana-mana untuk mengobarkan semangat perlawanan.

Ketika ia dibuang pemerintah kolonial ke Ende dan Bengkulu, Soekarno bahkan sempat melatih dan menyutradarai berbagai pementasan drama. Ia memang membutuhkan panggung.

Namun siapa yang menduga setelah 1 Oktober 1965, secara bertahap ia kehilangan semuanya.

Soekarno terlempar dari panggung. Ia tak boleh lagi menemui siapa pun. Termasuk berpidato di depan rakyat sendiri yang begitu dicintainya.

Rahmawati, bahkan masih menyimpan surat Panglima Siliwangi H.R. Dharsono yang melarang penduduk Jawa Barat bertemu dengan Soekarno. Setelah pensiun, H.R. Dharsono meminta maaf atas perlakuan itu kepada keluarga Bung Karno.

Puncak dari tragedi adalah Soekarno dikucilkan tanpa ditemani keluarganya di wisma Yoso.

Saat menderi sakit ginjal yang akut. Ia tidak dirawat secara wajar sebagai seorang mantan presiden.

Resep obat yang ditulis dokter Mahar Mardjono tak pernah ditebus di apotek, tetapi hanya di simpan di dalam laci.

Tak pernah diupayakan mendatangkan alat cuci darah untuk mengobati penyakitnya. Ia dibiarkan mati pelan-pelan.

Tokoh yang telah berjuang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan berjasa mencetuskan dasar negara Pancasila akhirnya menemui ajalnya secara mengenaskan.

Itulah tragedi pilu Soekarno.

Kisah duka Putra Sang Fajar.