Namanya Dickson. Setidaknya, itulah yang dia perkenalkan sebagai namanya ketika kami berkenalan. Dua kali melihatnya bersama istri (sebelumnya juga bersama anak-anak dan saudarinya) datang ke gereja di sore hari, hanya untuk berdoa di depan arca Maria dan Yesus sebelum berdoa di depan tabernakel, membuat saya tidak tahan untuk menyapanya berkenalan.
Ia berasal dari India, tepatnya daerah Tamil Nadu. Bersama sekitar 400 pengungsi lainnya dari India, Iran, Irak, Afganistan, Somalia, Syria dan beberapa negara lainnya, mereka terdampar di Makassar saat sedang mencari negara ketiga dalam pengungsiannya. Jika rekan-rekan sesama pengungsinya eksodus karena konflik bersenjata dan diskriminasi ras dan agama, Dickson sekeluarga meninggalkan Tamil Nadu karena menjadi korban konflik politik.
Ia tidak menceritakan seperti apa konflik yang menimpa kampung halamannya, tetapi dari kenyataan bahwa ia mengungsi bersama dua anaknya yang masih berusia 13 dan 10 tahun, bersama istri dan saudarinya, saya mengira konfliknya pasti sangat berat. Tidak ada orang yang mau meninggalkan kampung halamannya menjadi gelandangan pencari suaka di negeri orang jika masih ada pilihan lain, bukan?
Kami ngobrol dalam bahasa Inggris, karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia dan saya buta akan bahasanya. Bahasa Inggrisnya khas India, dan saya juga lebih banyak mengandalkan ingatan kosa kata dan grammar waktu SMA, jadi, kuantitas kami mengangguk, menggeleng, mengatakan ‘yes’ dan ‘no’ kira-kira sama banyaknya. Yang terpenting, kami bisa saling mengerti, yang tampak jelas saat kami bisa tertawa bersama atau mengerutkan dahi serempak.
Dickson bercerita, kalau setiap sore, bersama istrinya – dan kadang-kadang seluruh keluarganya yang ikut mengungsi, dia berjalan kaki sejauh 2 km dari tempat mereka diinapkan, menuju gereja untuk berdoa. Ketika saya bertanya alasannya, dia menjawab bahwa mereka menyukainya: menyukai berdoa di gereja, meskipun harus berjalan kaki 2 km, di kota yang sangat asing, dengan orang-orang yang tidak mengerti bahasanya dan memelototi mereka sepanjang jalan! Doa adalah kebiasaan mereka sejak kecil, dilakukan ketika susah, senang, bahagia, kelaparan, dalam saat apa pun. Berdoa membuat mereka yakin, masih ada tujuan hidup yang harus diraih. Berdoa memberi mereka kekuatan untuk berjuang mencari suaka, memberi mereka kemampuan untuk tetap bertahan dan mengumpulkan kekuatan.
Saya hampir saja tersenyum kecut, karena semua ucapannya seperti tamparan bertubi-tubi. Yang dia lakukan adalah yang jarang saya lakukan meskipun saya sering berada di gereja yang sama (apalagi saya tidak berada di negara lain). Dia memberikan saya alasan untuk berdoa jauh lebih jelas dari apa yang saya dengar di mimbar kotbah:”Karena kami suka berdoa.” Dia mengatakan hal yang sangat jelas, melampaui jelasnya buku-buku teologi atau renungan mingguan:”Kami yakin, Tuhan juga menyukai kami. Maka, ketika kami berdoa, apa yang kami sukai dan apa yang Tuhan sukai bertemu.”
Dia berkata, anak-anaknya tidak ikut ke gereja, karena jam 5 sore mereka harus belajar, dibimbing para relawan UNHCR. Tapi, mereka menitipkan kepada kedua orangtuanya, apa yang akan mereka ucapkan jika mereka berdoa. Dan, nanti kalau pulang, Dickson dan istrinya akan menceritakan kepada anak-anaknya apa saja yang didoakan tadi. Kalau dirasakan masih perlu, mereka akan berdoa bersama di kamar pengungsiannya yang sempit. Biasanya anak-anaknya yang akan memimpin. Katanya, agar Tuhan mendengarkan langsung apa yang anak-anak itu ingin ucapkan.
Doa favorit mereka adalah Doa Rosario. Intensi favoritnya adalah mengucap syukur. Dan biasanya, di akhir doanya, ia atau istrinya akan berucap:”Tuhan, ijinkan kami berdoa lagi nanti.” Sekali lagi, cerita Dickson seperti menohok ulu hati.
Dia menunjukkan foto gereja di kampung halamannya. Gereja berusia lebih dari 200 tahun, sangat megah, sebagian interiornya benar-benar berlapis emas. Saya bertanya – basa basi yang kemudian saya sadari sebagai pertanyaan bodoh:”Apa kamu lebih menyukai berdoa di gerejamu, atau berdoa di gereja ini?” Dia menjawab:”Kalau kita suka bernyanyi, tempat bukan masalah, kan?” Saya mencoba berkelit dan lanjut bertanya:”Jika begitu, kenapa tidak berdoa di rumah? Kenapa harus ke gereja?” Dia menjawab:”Karena kami suka. Kami suka akan suasana gereja. Lagipula, kita kan tidak mungkin meminta gereja datang ke rumah, kan?” Lalu kami tertawa bersama. Dickson tertawa karena bahagia dan selera humornya pantas. Saya tertawa karena sadar akan kebodohan sendiri dan selera humor yang juga seimbang. Hahahahaha…………………
Kemudian, kami berpisah. Saya harus pulang, dan dia harus berdoa bersama istrinya. Katanya, dia ingin ngobrol bertiga, lalu dia tersenyum. Saya mengerti, siapa orang ketiga yang dia maksud, lalu ikut tersenyum. Dalam 10 menit, saya sudah mendapatkan banyak hal berguna, dari seorang pengungsi Tamil Nadu yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Sepertinya saya harus menambahkan dalam doa saya berikutnya:”Tuhan, ijinkan saya untuk bisa berdoa lagi nanti…”
Terima kasih, Dickson! Semoga Tuhan memberkatimu sekeluarga……
(Gereja Kare-Makassar 2014)