Dulu leluhur kita berjuang demi tanah air, agar anak cucu mereka dapat hidup merdeka. Agar orang-orang di nusantara dapat bersatu dalam wadah negara yang berdaulat dan damai.
Saya percaya sebagian besar dari kita punya leluhur yang pernah ikut berjuang dengan apa saja yang dipunya. Pikiran, tenaga, senjata, menyediakan makanan bagi pejuang hingga doa-doa yang tulus.
Kita hanya menikmati buah perjuangan mereka.
Kita beruntung lahir belakangan. Masih dapat menghirup nafas kebebasan. Menikmati oksigen kekinian. Menjadi generasi penikmat internet. Tanpa dihantui desing peluru, serpihan mortir atau dentuman meriam.
Padahal kita yang lahir belakangan sesungguhnya juga punya kewajiban yang sama dengan para leluhur. Kewajiban menjaga persatuan dan kedaulatan NKRI agar damai demi anak cucu kita. Kelak.
Tapi dengan cara apa mewujudkannya?
Sederhana saja. Seperti harapan para leluhur. Menjaga negara kita ini dari perpecahan. Berjuang bagi kebaikan semua.
Tapi realitasnya tak semudah itu. Apalagi di era internet sekarang.
Benar. Disadari memang di era internet banyak menawarkan kemudahan. Namun era ini juga merenggut banyak sisi manusiawi dalam diri kita.
Lihatlah betapa berat menahan diri untuk tidak terjebak melakukan penyebaran berita hoax, dusta dan fitnah. Apalagi ketika itu bersentuhan dengan kepentingan kita.
Kita rajin mencaci maki dan menyebarkan kebencian, egoisme, lupa bersikap sopan kepada sesama, termasuk kepada orang tua.
Rasanya sikap seperti itu sudah menjadi mayoritas tontonan harian yang selalu berseliweran di media sosial.
Kita mungkin lupa. Atau pura-pura lupa. Karena ingin mempertontokan siapa sesunggunya diri kita. Kita rela mengorbankan apa saja demi memenuhi egoisme golongan, syahwat harta dan syahwat kekuasaan.
Ini tentunya sangat bertentangan dengan sikap yang diajarkan para leluhur.
Lantas harus bagaimana?
Saya pikir sebaiknya kita kembali harus meluruskan niat. Memperbaiki yang sudah melenceng.
Kalau para leluhur berjuang mengangkat senjata. Buat kita cukuplah berjuang menahan diri. Menahan apa-apa yang keluar dari pikiran, hati, lisan dan jemari kita.
Menahan tidak menambah perpecahan, kerusakan pikiran, menata akhlak-moral dan hati agar negeri kita tak koyak oleh kedengkian dan amarah.
Pendeknya, jika kita bisa berbuat demi kebaikan negara dan kebaikan masyarakat. Mengapa itu tidak kita lakukan?
Kalaupun kita tak bisa menjadi manusia yang sempurna hingga akhir hayat kita masih bisa menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri.
Berharap semoga apa yang kita perjuangkan nantinya bisa menjadi amal kebajikan. Sehingga bisa menjadi bekal pulang ke negeri Keabadian dengan selamat.
Berbuat baik dan memanusiakan manusia agar kelak ketika anak-anak kita membaca jejak digital kita di internet mereka tahu bahwa kita pernah berjuang demi kebaikan bersama.
Bukan berjuang untuk mengajarkan permusuhan dengan kata-kata cacian, kasar yang penuh kebencian.
Jangan lupa apa yang kita tulis dan sebarkan di sini di dunia Internet akan menjadi jejak digital memoar virtual, cyber Obituary.
Yang suatu saat akan dibaca oleh generasi selanjutnya termasuk anak-anak kita.
Maka akan seperti apa kita di mata anak-anak kita akan sangat tergantung bagaimana kita menulis sebagian dari kisah hidup kita di dunia internet. Khususnya media sosial.
Saya pikir ini salah satu cara menjadi pahlawan di era internet. Minimal bagi diri. Syukur-syukur bagi anak keturunan kelak.
Selamat hari pahlawan..