Dentuman jam dinding mengetuk pelan, jarum jam bergeser perlahan menandakan sebuah perputaran yang tiada habisnya (kecuali baterai jam itu kehabisan daya), namun detik demi detik terus berlalu, menjadi sejarah masa lalu.
Jumat berganti Sabtu, sabtu berganti minggu, pun sama dengan perayaan-perayaan yang kadang kala sifatnya hanya seperti panggung opera, hanya seremonial belaka, senang sejenak lalu pergi untuk waktu yang lama, membuat seakan kehidupan kita hanyalah sebuah pengisi peran belaka dalam jalan panjang tol waktu.
Tapi begitukah yang dimaksud waktu? apakah benar waktu hanya bersifat penanda-penanda layaknya jam, hari, bulan atau tahun belaka Tanpa ada pemaknaan di dalamnya?
Aku duduk diteras sekret BEM, mengamati desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon yang tumbuh rindang di depan, dengan layar laptop yang menyala, kutelusuri sebuah masa dalam perjalanan sejarah filsafat, yakni Madzhab Frankfrut.
Sedikit yang kubaca melalu artikel mengenai tentang mahdzab ini, sebelumnya mengenai tentang penamaan mazhab tak pernah pemikir ini mereka sematkan, namun karena pandangan masyarakat pada umumnya mengenai tentang Institut Penelitian Sosial ini (Institut für Sozialforschung, Frankfurt Jerman) yang secara idelogi sebagai pembangkang, dan memiliki gerakan kritis-terkosentrasi maka penamaan “Mazhab” pun tersematkan.
Institut ini dibentuk pada tahun 1923 dan mencapai kejayaan di tahun 1931 yang ketika dikepalai oleh Max Holkheimer bersama dengan pemikir-pemikir lainnya seperti Theodore W Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm, Franz Neuman, Walter Benjamin, Jurgen Habermas dan lain sebagainya.
Masa ini lah, permasalahan mengenai hidup mulai kembali di bongkar dalam pandangan kritis, dan pada masa ini pula, terjadi kejlimetan permasalahan tentang kehidupan ternyata begitu pelik, salah satunya ialah mengenai tentang “Apa itu Waktu?”
Ketika kita bertanya kepada Bos Perusahaan, maka waktu merupakan saat-saat tertentu dalam melakukan sesuatu, ketika bertanya kepada pemain bola yang gagal mencetak gol, maka waktu merupakan peluang-tempo-atau merupakan kesempatan, ketika kita bertanya kepada anak SMP yang sementara belajar Geografi, maka waktu merupakan pembagian berdasarkan dalam bola dunia (WIB-WITA-WIT, etc.)
Berbagai pengertian waktu ternyata begitu banyak, dan itu menandakan bahwa waktu adalah relatif; Waktu tidak akan sama ketika seseorang yang sedang rebahan sembari scroll-scroll layar hape menonton postingan-postingan belahan dan goyangan, dengan seseorang yang sementara berada di mobil ambulance berharap Ibu-nya selamat dalam perjalanan ke rumah sakit untuk di operasi.
Pertama, waktu akan berjalan begitu cepat ketika dalam keadaan senang atau sedang mencari kesenangan layaknya posisi orang tadi, dan waktu akan begitu lambat terasa, ketika dihadapkan pada posisi sedih-khawatir-was was. Dan ini sebagai perumpamaan nyata, bahwa Waktu adalah Relatif.
Relatifnya Waktu dengan kondisi-kondisi yang menyertainya, entah itu kondisi mental-psikologi ataupun keadaan, merupakan impuls mengenai pengertian waktu secara substantif bahwa waktu bukanlah merupakan sederet angka-angka yang terjejer melingkar di jam dinding, bukan angka-angka yang bershaf-shaf di kalender yang merupakan hasil pembagian caleg, tapi Waktu merupakan sebuah “kesadaran dalam pemaknaan”.
Kita mesti sejenak melirik kalender, entah itu hasil pembagian caleg tadi, atau kalender yang berada di layar gawai kita, kemudian memaknai kembali hari-hari, bulan-bulan juga tahun yang telah terlewat, benarkah waktu-waktu ini hanya akan berjalan saja tanpa ada jeda, merefleksi setiap hari-hari yang terlewat, merefleksi agenda-agenda gerakan organisasi atau individu yang terlewat.
Kita mesti sejenak melirik kalender, kemudian memaknai kembali hari-hari, bulan-bulan yang datang dan akan berganti menjadi tahun, apakah masih ada harapan dikemudian hari, atau hanya pasrah mengisi hari dalam panggung opera kehidupan ini.
Kita mesti melirik kalender, biarpun sekali.