Lewat film produksi Hollywood dengan mudah ditemui para hero berseliweran dari dunia rekaan yang kemudian masuk ke dunia nyata penggemarnya. Namun nilai hero dari para ibu yang sigap terbangun di waktu sahur di bulan Ramadan terlihat begitu mempesona.
Mereka hadir dalam dunia nyata tanpa perlu masuk dalam dunia rekaan penggemarnya. Jam 03.00 dini hari mereka mulai bertarung dengan rasa kantuk. Mendidihkan air, sembari menggoreng ikan dan memasak nasi di waktu bersamaan.
Sebuah usaha yang tidak hanya membutuhkan kekuatan skill, melainkan ikut ditunjang kecepatan bahkan percepatan di tenggak waktu imsak yang kasip, sewaktu mengolah ragam menu sahur dengan kecekatan yang presisi.
Percayalah situasi genting itu hanya bisa diselesaikan lewat skill para hero. Meski tragedi mata ikan meletus sewaktu digoreng tak jarang memercik minyak penggorengan panas ke bagian tubuh para hero. Bahkan tidak sedikit biji cabe rawit yang melenting mengenai mata para hero sewaktu mengulek cobek. Tragedi itu lazim mengintai para hero.
Namun situasi itu dengan mudah mereka taklukkan. Meski di saat yang sama, kebanyakan anak dan para suami lebih memilih mendengkur di atas kasur. Biasanya anak dan para suami terbangun di saat peristiwa heroik tadi selesai-nyaris tanpa bekas.
Menyisakan tudung penutup meja makan yang ketika dibuka, merupakan bau rempah dan kegurihan sajian sahur siap santap. Mendadak kepiawaian Spiderman memanjat dinding, dahsyatnya kekuatan Batman, Superman bahkan pasukan hero sekelas Avengers tidak berarti atas aksi dapur yang sudah ditunjukkan para ibu.
Peristiwa keheroan yang terbilang karib disaksikan, terkesan rutin, terasa sederhana, bahkan tak jarang dimaknai sebagai peristiwa biasa. Padahal efek keheroan mereka dengan mudah dinikmati secara intrinsik, dibanding hero dalam film yang aksinya kebanyakan dibangun secara ekstrinsik alias jauh dari kenyataan hidup.
Kemunculan hero yang biasanya dipicu dari minimnya rasa keadilan, miskinnya daya hidup dan ketiadaan sikap rela berkorban justru sudah lebih dulu dipraktekkan oleh para ibu. Cara masaknya mungkin terlihat sederhana, tapi rasanya selalu lekat di hati.
Mungkin ini buah dari tirakat sunyi para hero. Terbangun di puncak subuh, untuk ia ramaikan lewat bunyi air dijerang, bunyi didih minyak penggorengan dan bunyi sendok diaduk di dalam gelas kopi. Begitu ramai, artistik, liris meski terkadang sepi tepuk tangan. Hero yang jauh di sana terus mendapat sanjungan, keheroan ibu di sini tak jua dijunjung.