Kicau Merdu Perkutut

Gambar : Myrna

Dulu almarhum bapak begitu menyukai burung perkutut, sehingga lewat kebiasaan merawat perkutut daku seolah menerima mandat tradisi dengan melanjutkan kebiasaan bapak. Kebiasaan yang mungkin bagi sebagian orang terlihat sepele, tapi menjadi begitu menyenangkan setelah merasuk menjadi hobi.

Bayangkan jika tiap pagi dan sore hari daku terus belajar bersiul seolah tengah merayakan keberkahan hidup, seraya memastikan makanan dan air perkututnya tidak sampai habis. Dulu rasa cinta pada perkutut  belum terasa, tapi sekarang menyukai kicau merdu perkutut sudah tampak nyata. Memang antara cinta dan suka kadarnya tidak selalu sama.

Rasa suka yang sedianya dikelola agar tidak menghasilkan rasa kagum yang subjektif, karena akan terasa ganjil jika orang lain diminta ikut mengagumi burung “kita” yang lalu diklaim sebagai kekaguman berdimensi objektif. Terlebih kata “kita” biasanya tidak hanya bermakna kata ganti orang pertama jamak, tapi dapat bermakna sebagai kata ganti orang kedua tunggal seperti: Kamu, Kau dan Anda (utamanya penggunaan bahasa Indonesia pada mayoritas masyarakat Sulawesi).

Burung pun jika diperluas maknanya tidak (hanya) sebatas burung perkutut semata, melainkan dapat bermakna burung peliharaan Anda yang lain. Burung perkutut yang tidak hanya dijadikan objek atas bunyinya yang merdu, melainkan ikut berpeluang dilipatgandakan menjadi sebentuk nilai kesungguhan

Nilai kesungguhan yang dapat memicu lahirnya rasa sayang yang jika terus dipupuk akan pelan-pelan menjadi rasa cinta. Jika sudah cinta jangankan bunyi perkutut, kotorannya saja akan terlihat artistik dan dengan sukarela kandangnya akan girang dibersihkan. Meski suatu kali, kotorannya mendadak berwarna putih serupa kapur, perkutut itu pun nyaris tidak memiliki gairah. Jarang berbunyi dan tidak lagi terlihat ceria.

Dua hari kemudian perkutut itu terjatuh dari pijakan kayunya di dalam sangkar, bahkan leher dan kepalanya sampai terputar ke belakang. Kaget campur panik. Segera seorang teman dihubungi. Teman itu akhirnya datang berkunjung. Kata teman, burung perkututnya tengah diserang flu berat, dan butuh obat untuk segera disuntikkan ke dalam paruhnya.

Untungnya setelah obat diberikan, sore harinya lehernya sudah tidak lagi lemas, dan sudah bisa makan dan minum meski masih disuapi. Hari berikutnya, perkutut itu mulai terlihat bersemangat, dan mulai kuat bertengger di dalam sangkar. Setelah kejadian itu, perhatian pada burung perkutut kian berlipat-lipat. Selain karena hobi, cinta dan kesungguhan, ternyata merawat perkutut juga membutuhkan ilmu. Setidaknya ilmu untuk mencintai dengan penuh kesungguhan.

Meski tidak lagi jelas siapa yang tengah berbahagia dalam kondisi “terpenjara” di dalam sangkar. Rasa bahagia muncul ketika menikmati bunyi merdu perkutut dari luar sangkar, ataukah perasaan bahagia justru dirasakan perkutut ketika memandangiku dari dalam sangkar, saat  memandikan, memberi makan dan membersihkan kotorannya atas nama hobi, cinta dan kesungguhan.

Intinya keduanya kini hidup bahagia, sekalipun “terpenjara” dengan cara berbeda di waktu yang bersamaan. Ternyata mandat tradisi dari kebiasaan almarhum memelihara perkutut harus dijalani-sepenuh hati. Kicau perkutnya memang di sini, tapi bahagianya terasa sampai ke bapak yang sudah di sana.

Lahul Fatihah..