Sekarang, setidaknya sudah ada 3 bakal calon presiden. Anies Baswedan, yang di-‘framing’ sebagai perwakilan kaum Islam – kadang malah di-‘framing’ sebagai perwakilan kaum Islam garis keras – dan sering disebut tidak punya prestasi apa-apa; Prabowo Subianto, yang telah 3 kali mencalonkan diri dan gagal, dengan latar belakang militer dan dinilai paling bertanggung jawab atas tragedi penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, serta Ganjar Pranowo, yang digadang-gadang mewakili pihak nasionalis sekaligus titisan Jokowi, tapi kita tidak pernah tahu apa rekam jejak prestasinya. Yang paling mencolok tentu saja hal terakhir: pembangkangan secara langsung kepada presiden pada kasus penolakan Timnas Israel di perhelatan Piala Dunia U20 (yang kemudian jadi penyebab status Indonesia sebagai tuan rumah dibatalkan FIFA).
Masyarakat Indonesia kemudian terbelah menjadi 3 kelompok pendukung fanatik masing-masing tokoh tersebut, plus kelompok keempat yang masih menunggu perkembangan, dan kelompok kelima yang apatis. Isu yang beredar dan berkembang dari ketiga kelompok pendukung masing-masing capres sama: menaikkan posisi calonnya dengan jargon-jargon yang kadang-kadang tidak berbasis data, dan melemahkan posisi pesaingnya dengan berbagai stempel negatif. Kalau ini dibiarkan, maka pembelahan masyarakat pada 2 pilpres sebelumnya plus efek ikutannya pasca pilpres (kita masih ingat istilah cebong, kampret, kadrun) akan terulang kembali, dan kemungkinan makin masif – karena merupakan pengulangan.
Yang tidak kita dapatkan adalah, terciptanya adu gagasan dari ketiga calon tersebut: akan ke mana membawa Indonesia jika terpilih. Tidak terjadi pencerdasan masyarakat. Orang akhirnya memilih berdasarkan fanatisme positif terhadap calonnya (dan negatif kepada lawannya) – pada 3 kelompok pertama, kelompok keempat memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis, dan kelompok kelima mungkin memilih mungkin tidak.
Tapi, kita sebaiknya mengingat hal ini: siapapun yang dicalonkan, sesungguhnya di belakang mereka ada partai politik yang ingin meraih kekuasaan. Perbedaannya cuma ini: apakah para calon ini dapat mengendalikan partai politik di belakangnya, atau hanya jadi alat bagi partai politik tersebut. SBY memegang kendali penuh atas Partai Demokrat, sekaligus menjadi presiden. Kepentingan partai adalah kebijakan presiden, dan sebaliknya. Jokowi bukan pengendali PDIP. Kebijakannya tidak selalu sejalan dengan kepentingan partai. Itu sebabnya, sang pemilik partai perlu menegaskan ulang – sekaligus sedikit melecehkan – bahwa Jokowi hanyakalh petugas partai. Dan dalam kasus Gubernur Bali plus Gubernur Jateng vs Presiden (kasus timnas Israel), PDIP memilih berseberangan dengan Jokowi. Menegaskan kembali posisinya sebagai petugas partai, di mata para petinggi PDIP.
Jika melihat ketiga bakal capres yang sudah ada, Anies Baswedan tidak punya kekuatan untuk mengendalikan partai pengusungnya serta koalisinya. Prabowo adalah pengendali partai, dan punya peran besar pula mengendalikan koalisinya. Ganjar, tidak lebih hanyalah petugas partai. Tidak punya kemandirian sikap kalau sudah berurusan dengan kepentingan partai. Maka, setidaknya kita bisa memikirkan ini: Anies akan menjadi alat dari partai pengusungnya (dan koalisinya), dengan demikian menjadi alat bagi para pemilik partai. Ganjar juga demikian, kecuali dia punya keberanian berbeda sikap dengan partai (seperti Jokowi). Syaratnya adalah kemampuannya membangun komunikasi politik dengan parpol-parpol lainnya untuk masuk ke dalam barisannya (terutama setelah Pilpres), agar punya kekuatan penyeimbang menghadapi kepentingan partainya. Ini juga yang bisa dilakukan Anies agar posisinya lebih kuat. Prabowo akan menjadikan partai sebagai alatnya, demikian pula koalisinya. Mirip SBY.
Maka, untuk Anies dan Ganjar, yang harus dipertimbangkan adalah ideologi dan rekam jejak partai pendukung maupun para pemiliknya, bukan ideologi dan rekam jejak mereka berdua. Karena mereka akan melakukan apa saja atas perintah partai pendukungnya (dan pemilik partai). Sedangkan untuk Prabowo, yang patut dipertimbangkan adalah ideologi dan rekam jejak Prabowo sendiri, karena partainya akan melakukan apapun yang diperintahkan Prabowo. Ini menurut saya, cara yang tersisa sekarang untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan kita, selama kita tidak disuguhi adu gagasan cerdas antar para calon, dan hanya dicekoki dengan jargon-jargon dari para pendukung fanatik ketiga orang tersebut. Cara yang tersisa agar kita setidaknya masih punya sedikit modal untuk memilih dengan sadar, tahu dan mau.
Kita menunggu gagasan-gagasan cerdas dari mereka bertiga, dan diskursus yang terbangun oleh gagasan-gagasan tersebut. Mereka kini seharusnya boleh mengungkapkan gagasan-gagasannya, karena sudah diusung sebagai calon presiden. Mumpung masih ada waktu.
Oh, iya. Masih ada faktor cawapres. Begitu juga faktor Jokowi. Nanti dibahas di lain waktu.
Itu saja.