Senjakala Tradisi To Po Daa

Foto : Google.com

Suku Kaili Daa merupakan salah satu rumpun dari kelompok besar Suku Kaili yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah.

Saat ini Suku Kaili Daa atau To Po Daa mendiami sebagian kawasan pegunungan yang membentang diantara perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

Awalnya Suku Daa hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Makanan utama mereka sagu dan ubi jalar.

Suku Kaili Daa sampai saat ini masih menjadi misteri dan tetap menarik untuk dicari tahu asal muasalnya. Konon beredar keyakinan bahwa leluhur mereka merupakan titisan dari kanyangan. Atau orang yang turun dari langit.

Dahulu dalam Suku Kaili Daa dikenal strata sosial. Pada strata atas ada Maradika yaitu keturunan raja. Lalu Uranungata sebagai keturunan orang kepercayaan raja, Dea yaitu rakyat biasa. Serta Bagus rakyat jelata.

Suku kaili Daa di Kabupaten Pasangkayu di kenal sebagai Suku Bunggu atau To Ri Bunggu artinya Orang yang menetap diatas gunung. To Po Daa juga di kenal sebagai manusia pohon sebab tinggal dan berumah diatas pohon.

To Po Daa mendiami daerah terpencil di Pasangkayu, Bambalamotu dan Bambaira.
Hidup secara berkelompok. Dengan jumlah anggota suku yang cukup banyak. Mereka melakukan interaksi secara terbatas hanya dengan sesamanya.

To Po Daa memiliki beragam jenis tradisi. Tradisi mereka kaya dan unik. Salah satunya tari-tarian. Yang terkenal adalah Tari Rano dan Rego.

Tari Rano adalah tarian yang populer dikalangan Suku Kaili Daa. Saat dipertunjukkan Rano biasanya dibarengi lantunan syair-syair tradisional.

Tari Rano dilakukan dalam Formasi melingkar sambil menyanyikan syair-syair panjang dalam bahasa To Po Daa. Namun syair Rano tidak selalu sama, menyesuaikan dengan jenis acara yang dibuat.

Jika Rano dimainkan setelah panen maka syairnya pun tentang proses membuka ladang, menanam, menyiangi dan memanen. Juga ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Rasa gembira itu diekspresikan dalam gerakan tari dan syair penuh kegembiraan.

Tetapi jika Rano di mainkan sebagai penghiburan bila ada keluarga yang meninggal maka syair nya berisi siklus kehidupan manusia. Mulai dari lahir hingga ajal menjemput.

Sebenarnya secara garis besar tarian ini tidak ada perbedaan dengan tarian keliling (Dero) sebab dalam proses pelaksaannya tarian ini memiliki formasi yang sama yakni melingkar dan berpegangan tangan.

Tetapi dalam proses pelaksaannya ada perbedaan. Jika Tarian Dero di laksanakan dengan musik moderen maka tarian Rano sebaliknya diiringi dengan musik tradisional Gimba atau gendang.

Selain Rano, To Po Daa juga memiliki tarian ritual lain bernama Rego. Tarian Rego juga menjadi bagian dari pelaksaan upacara adat dalam syukuran pesta panen. Rego menggambarkan suatu gerakan pemujaan terhadap sang pencipta.

Sebelum Rego dilaksanakan terlebih dahulu diadakan prosesi adat. Warga mempersiapkan Lopi (nasi bambu), Banga Ada’ (piring adat), Pantee (tapi beras) dan Tovala (tombak adat).

Tari Rego umumnya dilaksanakan di Bantaya mulai pukul 6 sore sampai pukul 6 pagi. Dihadiri tokoh adat dan warga setempat. Tari Rano dan Rego bukan tarian biasa. Rano dan Rego adalan tarian sakral jembatan penghubung dengan para leluhur.

Namun kini kabar buruk berhembus. Sejak masuknya pengaruh modernisasi dalam masyarakat To Po Daa banyak generasi mudanya tidak lagi tertarik meneruskan tradisi ini.

Di kalangan kaum mudanya, Tari Rano dan Rego tidaklah sepopuler Dero. Mereka lebih peduli dan tertarik memainkan Dero karena diiringi musik modern. Bahkan ada kesan musik modernlah yang menjadi cikal bakal hilangnya tarian tradisional itu.

Hal ini tentu amat disayangkan karena pelan-pelan Rano dan Rego akan jadi barang asing. Segera punah. Dan tinggal kenangan saja.