“Sekali lagi, patuhilah peraturan. Segera pindah ke pasar baru. Tempat ini sudah tidak sesuai lagi untuk kemajuan kota. Lagipula sampah di sini merusak pemandangan. Ini peringatan terakhir. Jangan membuat jengkel petugas. Jangan sampai petugas terpaksa menggunakan kekerasan!”
“Buntutnya gak enak blas! Omongannya yang terakhir itu..,” gerundel Kang Min tukang patri yang tengah menambal pancì bocor.
“Alah, gak usah digubris! Biarkan saja, ngapain nanggepi orang nyerocos pakai megaphone. Kalau mulutnya capek ya diam sendiri, Kang Min,” gerutu Yu Rejo bakul jajanan.
Petugas satpol PP yang membawa mobil Kijang pickup itu masih terus bolak-balik sambil berbicara hal serupa dengan suara lantang. Selanjutnya, dari tangan Komandan megaphone diserahkan ke bawahannya bernama Nyoto, ganti ia yang bicara. Mobil memutar balik, bicaranya Nyoto tidak beda seperti sang komandan. Telah tiga kali satpol PP turun di pasar trotoar itu. Mereka terpaksa turun lagi karena baru saja ditelepon bupati supaya segera menertibkan para pedagang yang disebut membuat rusuh karena mogok tidak mau pindah ke pasar baru.
“Pasar sudah bagus dan ramai begini kok dipindah di pinggir sawah. Ya jelas tidak cocok. Orang kecil sudah susah cari makan, malah dipinggirkan lagi,” Mbah Ginah pedagang es dhawet bicara dengan resah.
“Sekali lagi, lekas pindah dari sini! Jangan membuat kami marah. Jangan sampai petugas terpaksa menggunakan kekerasan!!”
“Dipukuli ya tidak takut, Mbah. Masih takut kalau anak- anak kelaparan,” sahut Sri bakul buah yang jualan apel, jeruk dan salak.
Para bakul tak menggubris omongan petugas, mereka tetap berdagang di pasar lama karena lebih laris, menggelar lapaknya hingga trotoar. Sebagian sebenarnya sudah ada yang ikut pindah namun karena sepi mereka kembali lagi ke sini. Para pembeli tak mau ke pasar baru posisinya lebih jauh dan menjorok keluar kota. Butuh naik becak atau angkot ke sana.
Tahu para pedagang tak menggubris mereka, para petugas satpol PP mengumpat-umpat jengkel. Namun pada akhirnya mereka mengalah, kembali ke kantor.
“Kita usir mereka dengan kekerasan!” seru Komandan satpol PP.
“Rasanya tidak enak, Pak. Sebagian mereka adalah tetangga kami, tak enak rasanya jika kami ketemu di jalan.. apalagi jika diundang acara pernikahan atau sunatan. Hati kami tak tega, Pak,” jawab petugas Paijo.
“Jika tak enak hati alias rikuh bisa disiasati pakai topeng, usul Karso.”
“Ah gak perlu. Seperti mau merampok saja,” tukas Komandan, “dalam bertugas, tinggalkan urusan pribadi. Rikuh hanya urusan perasaan, mengganggu tugas saja!”
“Tapi rikuh dengan berbagai alasan telah menjadi bagian dari cara hidup kita, Pak. Jika kita jujur pada kenyataan penggusuran pasar itu kan juga karena rikuh saja, rikuh pada konglomerat yang membangun supermarket, rikuh pada para tamu penting karena adanya pasar semrawut itu,” Sambung Nyoto yang membuat teman-temannya pada mengangguk, membenarkan.
Mendengarnya, Komandan jadi tergeragap.
Nyoto melanjutkan bicara, “Maaf Pak. Bukannya kami menolak tugas itu. Kami akan melakukannya, tapi tidak dengan wajah asli kami, rikuh. Kami perlu topeng, itu saja.”
Komandan memandangi Satu persatu stafnya, seperti ingin tahu, apakah semua setuju. Semua staf mengangguk Komandan menurut.
“Baiklah jika topeng itu jadi sarana demi lancarnya tugas, yang penting kasus pasar liar itu tuntas!”
Kantor terpaksa mengeluarkan biaya untuk membeli kain dan ongkos menjahit topeng yang dibuat seperti kantong. Model kantong selain mudah dipakai juga tidak gampang lepas dan bisa menutup semua kepala. Ada tiga lubang di dalamnya, dua buat mata dan satu buat bernapas.
Jam 8 pagi. Ketika ramai-ramainya pasar itu para petugas yang telah memakai topeng tanpa babibu langsung mengobrak-abrik pasar. Ibu-ibu bakul menjerit-jerit sambil melindungi dagangannya. Para pembeli langsung buyar. Gegernya pasar membuat macet jalan. Banyak kendaraan berhenti, orang-orang yang ada di dalam toko pada keluar, semua ingin tahu. Ingin menonton. Nonton bingungnya orang berlari, nonton orang menangis. Bakul ayam menangis karena melihat ayamnya mati diinjak-injak orang. Yu Rejo, bakul jajanan juga menangisi banyaknya jajan yang rusak.
“Besok aku bawakan traktor! Kugilas semua. Dugh! Dugh!” Nyoto menendangi lapak dagangan.
“Ini barang kulakan! Bukan titipan, belinya pakai duit! Bukan bola!!” Bakulnya ikut ngamuk, Nyoto dipukuli dengan keranjang pas kena mukanya.
Keranjang yang begitu kotor itu membuat mata Nyoto kelilipan, matanya sakit, jalannya jadi menabrak-nabrak lapak termasuk es dhawetnya Mbah Ginah. Wadah dhawet terguling, gula pemanisnya ikut tumpah. Mangkok-mangkok banyak yang pecah.
“Oalah Gustiii..!.” jerit Mbah Ginah, “Kejam sampeyan sama wong cilik. Bakal kualat sampeyan!”
Sumpahmu tak mempan, Mbah! Bakul-bakul koncomu itu yang menyepelekan petugas. Sudah ditegur tapi tak pernah gubris!” sahut petugas lain melihat Nyoto tergelimpang, celananya basah tertumpahi es dhawet.
Hati Mbah Ginah seperti dirajang, diiris, dadanya sesak, tangisnya ambrol, air matanya yang berleleran disapunya dengan ujung kain yang selalu tersampir di leher.
Sri bakul buah sudah menyingkir sejak tadi, beberapa apel merahnya yang tertinggal ia biarkan saja. Kang Min tukang patri ribut memasukkan piranti alatnya ke dalam peti. Ada apel merah satu menggelinding di dekatnya. Setelah rampung, Kang Min mengambil apel itu dan menaruhnya ke dalam keranjang Sri.
“Bawalah saja buat anakmu, Kang Min,” ucap Sri dengan air mata yang berkembang-kembang, hampir tumpah.
Kang Min menggeleng lemah. Sri selanjutnya mengulurkan apel itu lagi ditambah salak dua butir, Kang Mu menolaknya dengan halus, “Sebaiknya dijual saja, Sri. Buat mengurangi kerugianmu. Tapi jangan kau jual di sini.. Pusat kota sudah bukan tempatnya wong cilik seperti kita ini buat cari rejeki. Mulai besok aku akan berkeliling ke kampung-kampung,” ujar Kang Min sembari memanggul petinya.
Kang Min melangkah pergi dengan hati pedih, matanya sempat melihat para petugas bergegas naik Kijang pickup plat merah. Dia dan bakul lainnya tak tahu kalau hati para petugas itu sejatinya juga perih.
Maka sesampainya di kantor, topeng-topeng itu dibuang dengan perasaan kesal. Karso melemparkan topengnya ke keranjang sampah sambil berkata, “Sebenarnya muka kita lebih baik ketimbang topeng ini…
“Ya aku tahu maksudmu. Bahwa pengertiannya tidak hanya menutupi rasa rikuh tapi lebih daripada itu,” tanggap Paijo.
“Kalau dilihat perkasus, pasar liar itu juga salah, perlu ditertibkan karena sudah di trotoar jalan. Tapi kalau ditelusur lebih dalam lagi, pasar liar itu tidak bakal ada jika bupati tegas, berani menolak konglomerat yang memaksa pasar dirobohkan untuk pendirian supermarket.” Nyoto memangkas obrolan dengan cara orang sekolahan.
Bupati rikuh, tak berani menolak karena konglomerat itu selain keluarga dekat presiden juga berteman dengan pimpinan partai besar. Bupati berkelit, pasar tradisional itu dianggap terlalu sesak dan tak sesuai dengan kemajuan zaman sehingga perlu diperluas di tempat lain.
“Hidup di zaman gombalisasi ini. banyak perkara yang terbalik-balik. Orang mau memperlihatkan wajah aslinya yang baik malah tak sesuai dengan kejamnya lingkungan yang menguasai. Walaupun tak sesuai dengan nurani, wajah sendiri yang baik terpaksa dicoret-coret. Kalau sudah begini, terpaksa pakai topeng yang jelek, tak tahu untuk kepentingan siapa..” sambung Sukidi.
Teman-teman lain memilih diam dengan hati yang kacau. Semua terduduk lesu masih dengan pikiran yang sedih karena telah kasar mengobrak-abrik rezeki saudara sebangsanya sendiri. Mulailah lagi gerundelan-gerundelan yang seperti tertuju pada dirinya sendiri.
“Sekalian musuh perampok, atau setidak-tidaknya maling motor. Kalau menang bakal kondang terkenal jadi pahlawan. Menang kok musuh ibu-ibu bakul pasar.
Kalimat itu membuat Nyoto terhenyak, dia menarik napas dalam-dalam, perasaan sedih menekan hatinya, dia tanpa sengaja menabrak dhawetnya Mbah Ginah, tetangganya. Saat itu dia tak sepenuhnya menyadari berada di dekat dagangan Mbah Ginah, janda tua setengah bungkuk yang hidupnya begitu melarat.
Walaupun tertutup topeng dan tak terlihat wajahnya, tapi hati Nyoto sebagai manusia tetap jernih. Ada niat ingin mengganti kerugiannya untuk mengurangi rasa bersalahnya tapi dia jadi ragu karena itu artinya sama saja dengan membuka aib rahasianya sendiri. Padahal dia tak mau kalau mengobrak-abrik pasar jadi bahan obrolan para tetangga. Kepalanya mumet, hingga karena bolak-balik pikirannya itu ia jadi susah tidur.
Sampai esoknya, ketika tiba di kantor, Nyoto masih binngung mau memutuskan apa. Dia dipanggil Komandan untuk menyetir mobil karena sopirnya tidak masuk. Komandan ingin melihat hasilnya. Kalau bakul-bakul itu masih nekat, langkah selanjutnya, mereka akan digaruk, diangkut ke kantor diberi pengarahan.
Tahu tidak ada bakul satupun, membuat hatu komandan jadi tenang.
“Mereka ke pasar baru juga akhirnya,” ujar Komandan tanpa turun dari mobil yang diberhentikan Nyoto tepat di depan bekas pasar.
“Ya mungkin saja ke sana atau mungkin ke tempat lain yang lebih menjanjikan buat cari rejeki. Atau bisa jadi masih menganggur di rumah merenungi dagangannya. yang hancur,” tanggap Nyoto, di kepalanya kembali berkelebat bayangan Mbah Ginah.
“Itu salah mereka. Kita kan sudah mengingatkan baik-baik dan sudah kunyalakan lampu merah, peringatan terakhir. Kalau tak begini, kita yang susah, dianggapnya tak becus bekerja!” Komandan menyahut terus menyulut rokok. Setelah mulutnya mengebulkan asap ia melanjutkan bicara, “Tugas kita sebagai penegak ketertiban makin banyak saja berhadapan langsung dengan perilaku masyarakat yang komplek. Menertibkan ini, menertibkan itu, belum menertibkan yang lain, dan yang lainnya lagi. Tukang becak pun liar, bandel ditertibkan parkirnya.”
“Jika hanya hanya menertibkan orang kecil saja tak sulit, meski mereka bandel pada mulanya. Orang kecil dengan ditendang sudah pada takut dan mulai tertib. Ada satu hal yang paling sulit ditertibkan.
“Apa?”
“Untung itu bukan tugas Satpol PP.”
“Apa itu?”
“Menertibkan moral yang gampang menggusur kepentingan rakyat’
Komandan terus saja merokok, tak bereaksi, tampak tak ingin menanggapi omongan Nyoto. Mobil kemudian melaju pelan, dari kaca spion, Nyoto melihat kios-kios lapak bekas pasar rakyat mulai digempur oleh kuli-kuli bangunan.[]
Oleh : Hans Gagas (Cerpenis)
Sumber : Kumcer Catatan Orang Gila. Gramedia Pustaka Utama 2014