Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama

Dunia pers tanah air berduka, seorang tokohnya Jakob Oetama di usia 88 tahun berpulang. Banyak yang bersedih dan merasa kehilangan. Tak urung Presiden Jokowi turut menyampaikan bela sungkawa atas kepergiaannya.

Semalam saya menyaksikan di salah satu televisi swasta nasional beberapa tokoh yang dikenal akrab dengan Pak Jakob khususnya dari kalangan awak media menyampaikan testimoninya.

Mendengar kisah-kisah mereka tentang Pak Jakob, sungguh pak Jakob adalah tokoh yang menginspirasi. Bukan hanya bagi personil Kompas Gramedia miliknya. Tapi juga mereka yang bekerja diluar raksasa media tanah air itu.

Sosoknya yang rendah hati, egaliter dan kebapakan khususnya bagi wartawan yunior menjadi bahan perbincangan.

Seperti kisah dari mereka yang terkaget-kaget dan tak menyangka orang yang menegur dan mengajak ngobrol santai adalah Pak Jakob orang yang paling mereka segani.

Suara khas, motivasi yang menggugah atau tepukan dipundak adalah beberapa kisah lain yang tak bisa dilupakan.

“Dari mana, bung?”

“Koran anu.. pak”

“Wah bagus itu, jadilah wartawan yang baik, ya.”

Atau seperti cerita mantan anak buahnya, Pak Jakob sering mendatangi meja kerja dan menegur kami.

“Bikin berita apa, bung?”

“Berita anu… pak”

“Oh, iya  bikin yang cantik ya.”

Namun demikian apa yang dilakukan oleh Pak Jakob bagi beberapa orang tak selamanya putih. Dalam sebuah tulisan Rosihan Anwar pernah menyindir dan mengatakan bahwa Pak Jakob adalah pelopor jurnalisme kepiting.

Alasannya, kebijakannya ketika mengelolah pemberitaan Harian Kompas terlalu takut mengkritik Soeharto secara langsung. Lamban, berbelit-belit penuh kehati-hatian. Seperti jalan seekor kepiting.

Berbeda dengan P.K Ojong mitranya sesama pendiri Harian Kompas.  P.K Ojong dikenal keras dan tegas. Ada kata-katanya yang terkenal, “Tugas Pers bukan untuk menjilat penguasa, tapi justru untuk mengkritiknya”.

Namun sebenarnya oleh banyak kalangan sikap Pak Jakob bisa dimaklumi. Bukankah setiap media memiliki kebijakan sendiri dan harus dihargai.

Juga kulturnya sebagai orang Jawa yang menganut budaya unggah-unggah dan aktivitasnya sebagai guru sebelum menjadi wartawan pasti sedikit banyak akan mempengaruhi kebijakannya.

Namun tidak berarti Pak Jakob tak bisa bersikap ketika dia meyakini kebenaran suatu hal.

Ketika dia diminta bersaksi pada kasus pembredelan Majalah Tempo, 21 Juni 1994, saat itu Goenawan Mohamad menggugat Menteri Penerangan. Pak Jakob menyarankan supaya Harmoko cukup memberi teguran keras dan tidak menutup Majalah Tempo.

Meski setelah itu beredar isu bahwa awalnya dia tak mau bersaksi. Kesaksiannya lebih didasari karena tersinggung oleh caci maki seorang cendekiawan yang mengatainya banci. Hingga akhirnya dia mau bersaksi.

Tapi isu itu tak pernah terbukti kebenarannya. Yang terbukti malah Pak Jakob adalah pribadi manusiawi dan suka menolong.

Orang mengenalnya sebagai sosok yang ringan tangan kepada siapa pun. Terutama kepada orang yang pantas mendapat bantuan. Bukan cuma pada wartawan dan karyawan kerajaan bisnis medianya.

Konon setiap kali merayakan hari ulang tahunnya, Pak Jakob suka membagikan hadian bonus gaji sebulan kepada awak Harian Kompas. Membantu pengobatan karyawan yang sakit, membangunkan rumah bahkan membelikan mobil.

Kini orang baik itu telah pergi dalam damai.

Selamat Jalan Pak Jakob.

Beristirahatlah dengan tenang.