Ketika Aku Cemburu

Alkisah ada seorang pemuda yang selalu mengikuti nabi kemana pun beliau pergi. Pemuda itu selalu membawa cawan berisi air yang selalu ia persembahkan usai nabi membawakah khutbah-khutbahnya.

Karena memberi air, pemuda itu selalu berada di shaf terdepan walau pun kadang-kadang ia harus berdesak-desakan dengan sahabat lain untuk mendengarkan nabi berkhutbah.

Pernah sekali ia terlambat, ia rela menyibak barisan yang ada di depannya agar bisa menyerahkan kembali cawan itu kepada nabi.

Setiap menerima cawan itu Rasulullah SAW selalu memperhatikannya. Pemuda selalu terlihat senang dan bahagia bila beliau meminum air pemberiannya.

Nampak betul ia ikhlas mempersembahkannya kepada Rasulullah.

Suatu ketika ada seorang sahabat yang menanyakan alasan mengapa ia selalu berbuat seperti itu. Sambil tersenyum ia berkata,

“Tak ada pemadangan yang lebih indah bagiku selain memandang wajah Rasulullah. Saya selalu berharap pandangan terakhirku adalah wajah nabi. Saat memejamkan mata pun, saya tak ingin ada bayangan lain dibenakku selain wajahnya yang mulia.”

Begitulah kisah pemuda pencinta nabi menggambarkan rasa cinta yang tulus kepada junjungannya.

Sebuah ketulusan yang sangat luhur dan agung. Sebuah ekspresi kecintaan yang membuat para pengikut di belakangnya cemburu. Dan aku pun cemburu.

Sungguh aku cemburu pada pemuda itu yaa.. Rasulullah.

Cemburu yang teramat sangat.

Tapi aku sadar cemburuku ini tak beralasan. Karena di hari lahirmu yang mulia aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak sanggup berada di shaf terdepan membawakanmu cawang untuk engkau minum.

Aku juga tak sanggup selalu menghadirkan bayanganmu setiap saat dalam anganku.

Aku hanya sanggup menyiapkan telur yang diletakkan pada sebuah bilah bambu pipih. Hanya pada bilah bambu pipih. Yaa.. Rasulullah.

Lalu kusengaja menghiasinya dengan kertas minyak warna-warni. Karena ku tahu engkau sangat menyukai keindahan.

Semuanya ku lakukan sebagai bentuk rasa syukur dan bahagiaku atas kelahiranmu.

Lalu dengan penuh rasa bahagia yang membuncah bilah bambu itu lalu kubawa ke masjid dekat rumah untuk diberkati dengan shalawat dan puji-pujian atasmu.

Setelah diberkati dengan sengaja beberapa diantaranya kubawa pulang. Kemudian ku letakkan di setiap sudut rumahku. Supaya aku juga bisa mengingat dan membacakanmu shalawat setiap kali aku melihatnya.

Aku berharap engkau selalu hadir di sini yaa.. Rasulullah.

Bukankah engkau telah berjanji untuk hadir di setiap tempat dan majelis dimana namamu selalu disebut-sebut dengan penuh kecintaan.