Reuni Digital Tidak jelas alasannya mengapa daku mulai merasa nyaman bergabung dengan salah satu group whatsapp ulumni sekolah. Mungkin karena di group itu semua anggota merasa setara.
Tak ada kesan, menggurui dan digurui, bahkan tidak ada kewajiban untuk menepati janji untuk reuni secara langsung. Meski janjian untuk sekedar ketemu, melepas rindu, sembari makan binte, sokkol dan mie tidak pernah menemui titik didih.
Terlebih jika hendak ngopi darat dengan mengulas kerinduan bersama cewek alumni sekolah yang mungkin sempat masuk di dalam daftar wanita incaran sewaktu sekolah.
Suit, suit…
Baru kali ini daku merasakan-betapa mudahnya janji di ikrarkan, tapi tidak membuat kecewa jika janji itu tinggal janji. Apa ini perkara, “bertemu” sahabat lama di dunia maya tidak akan pernah lagi seautentik bertemu di dunia nyata?
Pastinya semua orang punya cara tersendiri dalam merawat kenangan. Mungkin merawat kenangan dengan piranti maya dianggap jauh lebih praktis. Tidak perlu parfum, bedak, gincu untuk memoles diri hingga tampil sempurna di hadapan sahabat terkasih yang dulunya begitu karib.
Daku mulai curiga, jangan-jangan reuni digital jauh lebih afektif dilakukan di era yang cenderung menuntut-keterhubungan secara maya dibanding bersitatap lewat realitas nyata yang kini bayak terkendala jarak, waktu dan dinamika kesibukan kerjaan dan keluarga.
Di group itu, banyak sahabat yang dianggap sudah “mendahului” ternyata masih hidup, dianggap sabar dan kutu buku dulunya, eh, ternyata sudah enteng bicara dan terkesan ceplas-ceplos. Jadilah reuni digital semacam perayaan nostalgia yang mengharu biru.
Beragam kekonyolan, cinta monyet dan tingkah laku yang dulunya begitu menggemaskan seolah tumpah ruah menjadi candaan yang tiada habisnya. Para istri sahabat di dalam group, banyak yang komplen karena suaminya sudah mula terbiasa tertawa sendiri sembari menatap layar ponsel.
Kita tahu, tertawa itu normal, tapi jika sering tertawa sendiri itu menyimpan potensi kegilaan. Sejenis kegilaan karena ingin mengulang kenangan lampau sewaktu sekolah yang masih terasa segar, lekat bahkan begitu intim, tapi tidak lagi kuasa direngkuh seperti sedia kala.
Kenangan indah masa sekolah yang kini berubah layaknya oase di padang pasir, semakin hendak digapai-dahaga kerinduan justru akan semakin menyiksa dan menggila.
“Hingga hilang pedih perih // dan aku akan tidak akan lebih perduli // aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Mungkin lewat puisi “Aku”, Chairil Anwar hendak mengingatkan betapa dahsyat kerinduan yang (hanya) sanggup diulas lewat reuni digital.