Potret To Ri Bunggu

Foto: raiyani.net

Pasangkayu adalah salah satu kabupaten yang indah dengan sumber daya alam dan budaya yang kaya. Ibaratnya Pasangkayu adalah sebuah surga kecil di Provinsi Sulawesi Barat.

Selain memiliki panorama alam yang indah dengan objek wisata yang menarik. Pasangkayu juga dikenal punya beragam budaya dari berbagai suku penghuninya. Setiap suku memiliki keunikan masing-masing. Salah satunya adalah Suku Bunggu. Atau To Ri Bunggu.

To Ri BungguSuku Bunggu adalah suku yang menetap di daerah-daerah pelosok atau pedalaman di Kabupaten Pasangkayu. Diantaranya ada di Kecamatan Sarjo, Bambaira, Bambalamotu dan Pasangkayu.

Suku Bunggu dulunya hidup berpindah-pindah (Nomaden). Mereka menetap dan membangun rumah diatas pohon. Alasannya demi keamanan supaya terhindar dari gangguan binatang buas. Sekaligus memudahkan mereka memantau kebunnya.

Kini sebagian warga Suku Bunggu sudah menetap dan berinteraksi dengan warga dari suku lain. Rumahnya juga tidak lagi diatas pohon, tapi rumah panggung biasa yang terbuat dari papan dan beratap daun rumbia. Bahkan sudah ada yang terbuat dari batu bata dengan atap seng.

Selain rumah untuk tempat tinggal. Suku Bunggu juga mengenal Bantaya, Bantaya adalah semacam balai pertemuan antar warga.

Umumnya Bantaya dibangun ditengah-tengah kampung dengan tujuan sebagai tempat untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut adat istiadat dan urusan sosial kemasyarakatan.

Mayoritas warga Suku Bunggu berprofesi sebagai petani. Mereka menanam ubi jalar, singkong, jagung dan padi gunung. Hasil panennya mereka bawah ke pasar untuk dijual atau sesekali ditukarkan dengan kebutuhan hidup yang lain (barter).

Selain bercocok tanam secara tradisional, Orang Bunggu juga memiliki tradisi menangkap ikan yang unik. Mereka menangkap ikan dengan cara meracun.

Tapi jangan salah, racun yang digunakan bukan racun yang dibeli di toko melainkan racikan sandiri menggunakan tumbuhan yang bernama Tuba. Tuba mudah didapatkan di pinggir jalan atau di bawah pepohonan.

Cara mengambil Tuba adalah dengan menggali akarnya. Jika sudah terkumpul lumayan banyak tuba kemudian dililit jadi satu lalu ditumbuk. Menumbuknya harus sampai mengeluarkan cairan putih.

Cairan Tuba kemudian ditaburkan ke dalam air lalu airnya diubek-ubek. Setelah menunggu sekitar 5 sampai 10 menit ikan yang terkena cairan tuba akan mati dan bermunculan ke permukaan sehingga mudah untuk ditangkap. Setelah terkumpul ikan tersebut di cuci dengan air kelapa hingga pengaruh racun tubanya hilang.

Sejak mengenal listrik dan bergaul dengan warga lain, pola prilaku Suku Bunggu pelan-pelan berubah. Mereka mulai menggunakan alat-alat elektronik seperti televisi, radio, atau Handphone. Anak-anak mudanya juga rerata memiliki kendaraan roda dua. Dan berpendidikan.

Di abad modern ini pengaruh teknologi memang tak bisa dinafikkan. Hampir semua sektor kehidupan telah mendapat sentuhan teknologi tak terkecuali Suku Bunggu. Namun hebatnya tradisi dan adat leluhur mereka tetap terjaga.

Salah satu yang tetap terjaga adalah pesta panen. Setiap tahun usai panen mereka rutin mengadakan kenduri.

Pesta Panen orang Bunggu biasanya diisi dengan hiburan berupa tari-tarian. Yang terkenal adalah Dero. Dero adalah semacam tarian tradisional yang melibatkan muda-mudi.

Diawali dengan membentuk lingkaran kecil sedang dan besar, para peserta tarian ini kemudian bergerak berputar secara melingkar sambil berpegangan tangan mengikuti tabuhan gendang.

Biasanya selain Dero dalam Pesta Panen masih ada acara lain yang disuguhkan, tergantung kesepakatan warga.

Selain pesta panen yang dilaksanakan secara meriah. Suku Bunggu juga mengenal acara ritual lain misalnya memperingati kelahiran, juga ritual mulai menanam dan sebagainya.

Dalam pelaksanaannya, para pelaku ritual menggunakan properti adat. Ada beberapa yang perlu disiapkan. Yang tak boleh dilupa adalah memakai pakaian adat. Pakaian adat Suku Bunggu terbuat dari kulit kayu bernama Vuya Tea. Dalam setiap ritual, Vuya Tea digunakan oleh tokoh adat atau tokoh masyarakat. Tidak untuk sembarang orang.

Pesta-pesta adat digelar sesungguhnya bukan sekedar bentuk rasa syukur dan ucapan terima kasih pada penguasa alam, namun juga sebagai bentuk reuni antara keluarga dan sanak famili yang jarang bertemu. Khususnya keluarga yang sudah menetap di perkampungan dan mereka yang masih hidup berpindah-pindah di pegunungan.

Selain telaten merawat tradisi dan adat istiadat, dalam kehidupan sehari-hari dikalangan orang Bunggu juga beredar semacam pantangan atau pamali. Pantangan ini begitu kuat dipegang.

Pantangan berupa larangan membakar udang atau terong. Bila dilanggar diyakini pelakunya akan tertimpa mara bahaya atau diganggu makhluk halus.

Anehnya, Sebagian warga masyarakat yang hidup berdampingan bersama Orang Bunggu pun mengamininya. Tidak jarang saya mendengar larangan membuat masakan “terong bakar” datang dari Orang Mandar atau Orang Bugis. Bukan dari Orang Bunggu.

Sebagai sebuah bentuk kearifan lokal. Ini patut dihargai. Dihargai sebagai kekayaan budaya nusantara yang tak ternilai harganya.