Buruh yang Tak Libur di Hari Buruh

Foto: Google.com

Hari ini [01/05/2025] adalah Hari Buruh. Sebagai buruh, saya Ikut Iibur.
Semenjak ditetapkan sebagai hari libur nasional pada tahun 2014,
semenjak itu pula saya ikut libur. Meskipun sebenarnya pekerja seperti
saya, tidak pernah diakui sebagai buruh.

Buruh, selama ini, diyakini hanya terbatas pada pekerja formal di
lingkup pabrik. Pekerja swasta.
Tak mengapa, karena mereka juga pada akhirnya saya bisa ikut libur,
karena kalender berwarna merah, pada tanggal 1 Mei.

Hari libur karena hari buruh ini, saya lewatkan dengan bermalas-malasan di rumah. Habis salat Subuh tidur lagi dan bangun agak siang, setelah terdengar anak-anak yang banyak bermain di sekitar rumah.

Tak ada agenda demo yang harus saya ikuti, karena organisasi buruh
tempat saya bernaung memang tak pernah mengadakan agenda
demo. Tak ada penuntutan kenaikan upah, penetapan jam kerja,
pemberian uang lembur, atau kejelasan promosi jabatan.

Buruh semacam saya, memang harus ikhlas menerima segala apa yang diputuskan oleh pemberi kerja, tidak bisa tidak. Harus iya, tanpa syarat dan ketentuan apalagi dialog dan macam-macam tuntutan.

Akhirnya hari libur saya habiskan dengan tidur, membaca dan mengajak anak-anak berbelanja, mumpung nggak sekolah.

Untung saja tokonya tidak tutup, pegawainya tidak libur.
Jika ada yang disyukuri, adalah karena tokonya tidak tutup. Jika ada
yang tidak boleh disyukuri, itu karena buruh atau pegawai tokonya tidak libur. Siap sedia melayani kita.
Padahal, mereka adalah buruh.

Di luar, sebelum masuk toko, beberapa penjaga parkir juga masih
terlihat sigap bertugas. Menjaga kendaraan pengunjung, menata, dan
membantu siapa pun yang kesulitan memarkir atau hendak mengeluarkan kendaraannya. Mereka juga tidak libur. Padahal, menurut saya, mereka juga buruh

Menurut KBBI, buruh adalah orang yang bekerja untuk orang atau pihak
lain dengan mendapat upah. Dengan kata lain, pekerja.

Berarti penjaga parkir itu juga adalah buruh, karena ia bekerja untuk
pihak lain. Sayangnya disaat libur hari buruh mereka tetap masuk kerja.

Sama juga ketika saya melihat pekerja toko dengan sigap mengisi rak-
rak yang hampir kosong dengan barang-barang, juga petugas kasir
yang dengan sigap melayani pembayaran.

Apakah mereka tahu kalau hari ini adalah hari buruh?

Andai kata tahu, apakah kemudian yang mendorong mereka untuk
tidak libur?

Ataukah memang hari buruh tak harus identik dengan libur untuk
memonumenkan peringatannya?
Cukup dengan perbaikan aspek-aspek yang mendukung kinerja buruh
misalnya.

Ketika berbicara mengenai ‘perbaikan’, tentu itu berlaku dan bersifat
dua arah. Bagi buruh, dan bagi pemberi kerja. Sebab, jika pemberi kerja memiliki nasib baik, tentu akan ikut
mengangkat nasib baik buruhnya.

Yang perlu mendapat pengawasan, adalah jika pemberi kerja bernasib
baik tak kemudian mengangkat nasib buruhnya agar menjadi lebih baik.

Atau jika pemberi kerja sudah sedemikian rupa mengangkat nasib baik buruhnya, tetapi buruh tidak bekerja secara optimal.

Tentu selalu dua arah jika membicarakan tentang nasib buruh, beserta segala aspek yang layak mendapat pengawasan serta perbaikan. Tak bisa cuma satu arah, nanti bisa njomplang.

Di beberapa toko dan rumah makan menganggap hari libur adalah hari
untung. Banyak orang berbelanja, dan banyak orang memilih makan di
luar, bersama keluarga.

Tentu toko dan warung makan tidak bisa meliburkan juga pegawainya, meski kalender menyatakan warna
merah adalah Hari Buruh.
Mungkin upahnya dihitung dengan besaran upah lembur, jika pegawai
mau datang dan bekerja. Semoga saja, begitu.

Tentu juga tak semua buruh kemudian memilih libur, menikmati
monumentasi pengakuan akan keberadaan mereka.

Banyak yang lain, tetap memilih bekerja. Banyak lain, tetap memilih
mendapatkan uang dan upah. Banyak yang lain, mungkin
membutuhkan biaya-biaya lebih bagi kehidupan mereka. Untuk
keluarganya, atau untuk dirinya sendiri agar tak dipandang sebelah
mata.

Bagaimanapun hidup adalah tentang pilihan. Menjadi buruh adalah
pilihan, begitu juga menjadi majikan.

Tapi tak semua bisa menjadi buruh, pun tak semua juga bísa menjadi
majikan. Keduanya saling membutuhkan, keduanya harus bertemu pada satu titik ekuilibrium yang saling menguntungkan.

Buruh tak bisa hidup tanpa pemberi pekerjaan, dan pemilik pekerjaan
takkan bisa bertahan tanpa buruh yang menopang.

Selamat Hari Buruh.
7
Salam.