Kusir Dokar Naik Haji

Gambar : Kbrispdr

“Mbah Saya ingin naik haji Apakah itu bisa?”

“Maksud sampeyan itu apa kepingin Naik Haji Kok tanya-tanya saya ya tinggal mendaftar toh Mudah saja semua orang juga bisa”

“Justru itu Mbah saya tidak punya uang buat daftar tapi Saya kepingin Haji sungguh saya minta didoakan agar bisa lekas naik haji Pokoknya saya ingin naik haji kalau bisa sekaligus dengan istri saya bisa kan, Mbah?”

“Weh.. pekerjaan sampean itu apa?”

“Kusir dokar.”

“Berat.”

Ini bukan kejadian pertama. Seseorang tiba-tiba datang kepada Kyai untuk didoakan macam-macam. Dari problem rumah tangga yang kecil-kecil, hingga persoalan-persoalan besar seperti halnya pengaduan si kusir dokar tadi. Hal yang paling muskil adalah bagaimana menjawab “kemustahilan” yang harus disampaikan terhadap harapan besar semacam itu? Jika saja yang datang adalah seorang saudagar kaya, atau pegawai tinggi, barangkali lebih mudah karena persoalannya hanya tinggal menata kemantapan hati dari segi bekal materi jelas mereka sudah siap ada banyak kejadian bahwa orang-orang yang sesungguhnya mampu untuk berhaji tapi terhalang keinginannya oleh keraguan dan ketakutan rasa was-was dan berbagai kecemasan lainnya tidak jelas. Nah, fungsi seorang Kyai adalah menggiring untuk “kemantapannya” dengan doa, ataupun dengan sejumlah nasehat. lebih gampang. Tapi bagaimana dengan Kusir dokar tadi?.

Ya sudah. Sekarang, sampeyan berdoa saja yang khusuk. Yang tenanan, yang betul-betul. Saya juga akan berdoa khusus untuk Sampeyan. Gusti Allah itu maha murah kok, jika Gusti Allah sudah menghendaki, siapa sih yang tidak bisa menghalangi? Sampeyan, walaupun cuma modal nekat ndungo, Insya Allah..”

Tapi Betul kan Mbah? Saya bisa naik haji?”

“Wee lah, sampeyan itu. Berdoa saja belum.”

Inggih, Inggih, Mbah.”

Tak ada kemustahilan bagi sifat Allah. Pagi harinya, sepasang suami- istri yang sudah cukup sepuh datang ke tempat yang sama, meminta pertolongan yang “nyaris” serupa:

“Kami sesungguhnya sudah lama berniat pergi haji. Alhamdulillah, Mbah Kyai, kami diberi rezeki yang cukup oleh Allah. Tapi ya itu tadi, Mbah Kyai, kami ragu-ragu karena kondisi kesehatan kami yang sering terganggu akhir-akhir ini. Maklum, umur sudah semakin tua. Nah, kedatangan kami ke sini, ingin meminta pertolongan Mbah Kyai kalau-kalau di antara santri Mbah Kyai ada yang bisa kami ajak untuk menemani. Sekaligus, ya itu tadi, kami meminta doa restunya.”

“Gampang! itu gampang. Saya punya seorang santri yang Insya Allah cukup sehat dan kuat untuk dijadikan pendamping. Tapi semua ongkos ditanggung kan?”

“Betul. Semua ongkos kami tanggung. Pokoknya, asal kami bisa merasa aman dan khusuk dalam menjalankan ibadah.”

Jelas ini bukan sebuah proses kebetulan. Tak ada sebuah proses “kebetulan” dalam skenario Allah. Doa sang Kusir dokar dan Kiai itulah yang telah menggerakkan tangan-tangan Allah untuk menghadirkan suami istri itu datang ke tempat ini. Barangkali dari ketulusannya, kepolosannya, kepasrahannya, kejujurannya, ataupun “kenaifannya” dalam memandang sebuah persoalan sehingga ia berani terbuka untuk sesuatu hal yang bagi orang lain terasa lucu? Wallahu a’lam. Yang jelas, pagi berikutnya ia datang menghadap dengan tergopoh-gopoh ketika kembali dipanggil Kyai:

“sampeyan segera siap-siap.”

“Siap-siap apa, mbah?”

“Weelah, katanya kepingin haji.”

“Haji? Saya ini Mbak? Jangan bergura loh Mbah!”

“Siapa yang bermaksud bergurau? masak sudah tua begini berbohong. Sudahlah, pokoknya sampeyan segera siap-siap sekarang juga. Sana pamit ke semua sedulurmu, tetangga-tetanggamu. Sampeyan berangkat haji. Tapi syaratnya, sampeyan harus meladeni orang.”

“Weeh, jadi betul mbah? Saya bisa berangkat haji?”

“Masih belum percaya. Sampeyan akan di hajikan orang. Dan sampeyan harus rela mengabdi, menjadi pendamping, laden, melayani selama menunaikan haji. Sampeyan mau?”

Subhanallah. Andaikan jadi gedibal pun, saya mau, mbah. Sungguh. Saya sudah terbiasa meladeni orang. Puluhan tahun. Selama jadi kusir dokar, Kerja saya ya meladeni orang.”

Akhirnya kusir dokar itu pun berangkat. Tapi inilah, justru keunikan dan keajaibannya yang paling besar terjadi. Yakni selama di Makkah.

Konon, sang kusir dokar mendadak kondisinya jadi terbalik. Ia ambruk, sering mengeluh sakit, loyo dan terpaksa “dieret-eret” kesana kemari oleh orang yang menghajikannya.

Sedangkan, sepasang suami-istri itu, anehnya malah dikaruniai kebergasan, sehat, kuat dan mulus. Walhasil sang kusir dokar itulah yang justru diladeni. Maha Besar Allah.

Sesampai di tanah air. Ketiganya menghadap. Sang “majikan” langsung lapor tentang bagaimana beruntungnya mereka dikaruniai kekuatan yang tak pernah terbayangkan, untuk “meladeni” kusir dokar. Sedangkan sang kusir dokar tersedu-sedu menangis, memohon maaf, mengemukakan penyesalannya karena justru ia yang malah merepotkan.

“Alhamdulillah, sampeyan berdua justru telah mendapat ganjaran yang lebih dari Allah. Insya Allah, ganjaran yang berlipat-lipat. Sampeyang berdua ikhlas toh?”

“Inggih mbah. Kami ikhlas.”

Puluhan tahun, sang kusir dokar meladeni orang. Barangkali, siapa tahu, bahwa selama hidup dia tak pernah merasa betapa enaknya diladeni. Dan Allah, sifat yang Maha Tahu, yang Maha Rahman telah berkenan meninggikan derajat sang kusir dokar menjadi majikan. Menjadi tamu Allah di tanah suci. Sekaligus merasakan suatu kenikmatan yang selama ini tak pernah ia rasakan.

Penulis: K.H.A. Mustofa Bisri (Ulama dan Budayawan)