Ada kebiasaan anak-anak di rumah yang rutin dilakukan hampir setiap malam. Kebiasaannya adalah minta diceritakan dongeng sebelum tidur. Penyebabnya, ya saya juga. Sejak kecil mereka sudah saya biasakan mendengar dongeng. kerena terbiasa akhirnya mereka menjadi ketagihan. Rasanya tak enak tidur kalau tak mendengar dongeng dari ayahnya.
Terkadang dongengnya saya ceritakan langsung. Tapi sering juga saya membaca buku. Kisah Legenda Nusantara atau Dongeng Hans Christian Anderson adalah buku-buku favorit mereka.
Kalau lagi capek dan malas membaca, saya cukup menceritakan mereka Kisah Nabi dan Rasul atau Cerita 1001 malam yang masih sempat tersimpan dalam memori saya.
Seperti malam kemarin, adek ngotot minta dibacakan lagi. Tapi karena malas saya tawarkan alternatif lain,”Ayah cerita aja, ya?” maksudnya supaya dia tetap mendengar dongengnya. Sementara saya pun tetap bercerita tanpa perlu susah payah membaca. kaka setuju. Adeknya mengiyakan.
“Tapi di capu-capu yaa?” Pintanya. (dalam Bahasa Bugis capu-capu artinya di elus-elus).
Sebenarnya capu-capu juga bikin capek. Tapi oke-lah. Daripada ade’ ngambek saya iyakan permintaannya. Akhirnya jadilah saya bercerita malam itu sambil tangan tetap mengelus-elus. Ceritanya Aladin dan Lampu Ajaib.
Ketika di sekolah dasar saya pernah menonton film Aladin dan Lampu Ajaib. Film ini di bintangi oleh aktor dan artis idola remaja kala itu, Rano Karno dan Lydia Kandou. Ceritanya bagus ada nari-narinya. Ada nyanyi-nyanyinya. Dari film itulah kisah Aladin saya adaptasi menjadi dongeng.
Mulailah saya bercerita..
“Pada zaman dahulu di Bahgdad Irak ada seorang anak yatim yang baik hati bernama Aladin. Dia hidup bersama ibunya. Bapaknya sudah lama meninggal dan tak mewariskan harta kekayaan selain gubuk tua tempat tinggal mereka. Karena tidak memiliki apa-apa hidup mereka sangat menderita.
Suatu ketika datanglah seorang tukang sihir yang mengaku keluarga. Dia menceritakan bahwa Aladin memiliki harta warisan milik bapaknya yang disimpan di suatu tempat, cuma Aladin yang bisa mengambilnya.
Singkat cerita setelah mendapat izin ibunya, berangkatlah mereka berdua ke tempat yang dituju. Rupanya tempat itu sebuah gua. Kata sang penyihir harta itu ada di balik gua di dasar bumi. Dan Aladin sendiri yang harus turun mengambilnya.
Setelah dibacakan mantra pintu gua pun terbuka. Aladin di minta turun. Namun karena ragu dan kuatir Aladin menolak. Karena ditolak penyihir itu marah. Dia lalu menendang Aladin ke dalam gua. Aladin terjatuh. Tubuhnya berguling-guling dan meluncur cepat. Terus, terus…. jauuh…. Dan akhirnya sampai ke mall..”
“Kok ke mall?” Tanya ade’.
Astagfirullah, saya terjaga dari lelap. Rupanya saya tak sadar sudah ngelantur. Harusnya Aladin sampai ke dasar gua.
Merasa bersalah kutepok jidatku. Dasar penyakit. Biasa kalau pipi sudah menempel ke bantal, pelan tapi pasti ingatan akan terbawa ke alam bawah sadar. Hasilnya tadi itu, Aladin terjatuh berguling-guling jauh dan akhirnya sampai ke mall.
Sebenarnya kejadian seperti itu sudah berulang kali terjadi. Tak jarang saya terlelap begitu saja sebelum ceritanya berakhir. Keduanya yang belum tertidur tentu saja protes. Iseng kaka biasanya memencet hidungku. Atau adeknya membuka kelompak mataku agar terbangun.
Namun pernah sekali antara sadar dan tidak kulihat keduanya duduk dan memandangiku. Kaka’ meletakkan jari terlunjuk di bibirnya. Sementara adeknya hanya menganggukkan kepala. Pada saat seperti itu, besar dugaanku keduanya jatuh iba pada ayahnya yang tak bisa menyelesaikan ceritanya karena tak sanggup menahan kantuk.
Walaupun begitu, tiap malam kedua putriku masih tetap minta di dongengkan. Disitu saya mulai berpikir, jangan-jangan mereka hanya ingin mendengar suaraku bercerita dan menikmati elusan tangan kasarku di punggung dan rambut mereka sebelum terlelap. Saya terharu.
Barangkali ini adalah bentuk komunikasi orang tua dan anak. Komunikasi yang tak mungkin tergantikan oleh apa pun, apalagi sekedar tayangan televisi atau game yang sadar atau tidak telah kita biarkan menjadi pengasuh atau orang tua tiri bagi anak-anak kita.