Apakah kamu pernah merasakan sakit yang begitu dalam, hingga terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh? Apakah kamu pernah berpikir bahwa luka tersebut mungkin bisa berujung
pada kebaikan? Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang yang memiliki semangat juang yang luar biasa, meskipun dia telah mengalami cobaan yang begitu berat? Entahlah, aku tak tahu. Namun yang pasti aku akan mencari jawabannya sekarang.
Lembaran luka Karan Oka Pratama. Seorang lelaki yang harus menerima kenyataan pahit hidupnya. Hidupnya yang kelam dan hancur, ia juga harus menerima kenyataan hidupnya bahwa ia terdiagnosa penyakit kanker paru-paru. Hidupnya tidak dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Meskipun begitu, ia selalu menyematkan prinsipnya, “Sekalipun kebaikanku tidak
terbalaskan kembali, atau bahkan tidak mendapatkan penghargaan atas kebaikan yang telah kuberikan kepada mereka, aku tidak akan lelah untuk terus berbuat baik.” Ucapnya.
Masa lalu Karan Oka Pratama tidak pernah mendapat perlakuan baik dari orang-orang sekitarnya. Dunia tidak pernah ramah kepadanya. Namun, meskipun begitu ia selalu ramah kepada dunia. Ada setitik ketenangan yang tidak pernah karan dapati di hiruk pikuk manapun.
Kesunyian adalah tempat paling baik baginya untuk memeluk diri, sebab keramaian tak selalu ramah bagi seorang penyendiri. Dan satu lagi, ketika karan berdoa dalam tidur lelapnya, doa yang selalu ia panjatkan adalah “Aku ingin membantu orang-orang sekitarku di setiap pertemuan dengan kebaikan, walaupun lembaran luka menerpaku, tetapi akan ku iringi dengan kebaikan.” Ucapnya, seketika ia menutup matanya dan meneteskan air mata.
Matahari pagi baru saja mulai menjulang, memancarkan sinar yang hangat dan menenangkan. Hari baru telah dimulai, sudah 2 tahun sejak kelulusan karan di SMA, sekarang ia berusia 20 tahun dan bekerja sebagai magang di perusahaan kecil.
Di dalam rumah yang sederhana, aroma teh dan roti panggang mulai menyebar, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang. Dari dapur, terdengar suara ibu yang hangat memanggil. “Nak…, bangun, sarapan pagi telah siap,” kata ibu dengan suara yang lembut dan penuh kasih sayang. Ibunya seorang wanita paruh baya, dia telah bangun sejak dini hari memasak sarapan pagi untuk anaknya dengan sepenuh hati. Dia tahu, sarapan pagi yang baik adalah awal yang produktif dan bahagia.
Karan yang masih terbungkus dalam selimut hangat mulai merasakan aroma sarapan pagi yang lezat. Ia membuka mata, dan dengan malas mulai bangkit dari tempat tidurnya. Karan berjalan menuju dapur, matahari pagi mulai menerobos masuk ke dalam jendela dan memantulkan sinarnya pada wajah karan yang masih mengantuk. Tetapi begitu ia melihat ibunya yang berdiri di dapur, dia tersenyum. Meski dulunya hidupnya penuh dengan luka, dia tahu bahwa ibunya adalah sumber dari kebaikannya, dan dia beryukur memiliki ibu di sisinya. Karan melangkah dan duduk di kursi sembari menatap ke arah ibunya yang tersenyum penuh kebahagiaan. Ibunya dengan penuh cinta menyediakan sarapan pagi yang telah ia siapkan. Di atas meja terdapat nasi hangat, lauk-pauk yang beragam, sayur segar dan juga teh serta roti
panggang.
“Bun, setelah sarapan nanti aku mau pergi bantu-bantu di panti asuhan, katanya sih ada acara bakti sosial, lagi pula hari ini aku libur magang.” Ucap karan.
Ibunya menatapnya dengan penuh kebanggaan. “Baiklah, Nak” jawabnya dengan senyuman. “Tapi jangan lupa makan banyak yah, agar tenaga kamu cukup untuk hari ini.” Ucap ibunya
sembari menyajikan sesendok nasi ke piring anaknya. Setelah menyelesaikan sarapannya, karan beranjak dari meja makan dan bersiap-siap untuk pergi. Ia mengenakan kaos putih polos dan celana jeans, sederhana namun rapi. Sebelum pergi, ia menoleh ke arah ibunya dan berkata, “Terima kasih, Bunda. Aku berangkat dulu ya…”
Karan hanya berjalan kaki, karena rumah dan panti asuhan tak jauh dari tempat ia tinggal. Di perjalan menuju panti asuhan, karan menemui berbagai macam orang. Ada yang sibuk berjalan cepat menuju tempat kerja, ada juga yang sedang asyik bermain di taman. Meski dulunya hidupnya penuh dengan luka, karan tetap berusaha untuk berbuat baik dan membantu orang-orang di sekitarnya.
Tak lama kemudian saat karan berjalan, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. “Karan mau kemana?” tanya orang itu. Karan sontak kaget dan menoleh ke belakang. Ternyata itu arsya,
teman masa SMA karan, sejak karan lulus di SMA mereka tak pernah bertemu.
“Arsyandra, nama panggilannya adalah arsya.” Dialah yang dulunya selalu menemani karan saat ia berada di titik terendah dan memberikan motivasi ketika orang-orang tidak menghargai kebaikan karan. Bahkan karan sudah menganggapnya sebagai saudaranya. Saat karan menoleh ke belakang, dan melihat wajah arsya, lantas mata karan berbinar dan tersenyum bahagia.
“Aku mau pergi ke panti asuhan, aku dengar-dengar ada acara bakti sosial di sana.” Jawab karan. ”Baiklah, kalau begitu kita pergi bersama-sama, aku juga ingin kesana.” Ucap arsya sembari merangkul pundak karan.
Di perjalanan menuju panti asuhan mereka berbincang-bincang, tertawa mengingat kenangan lucu saat SMA, hingga tak terasa telah tiba di tempat tujuan. Saat tiba di panti asuhan, karan dan arsya disambut dengan hangat oleh anak-anak yang tinggal di sana. Mereka berlari menghampiri karan dan arsya di pintu gerbang, anak-anak memeluk karan dengan erat dan berteriak, “Kak karan datang…!” karan tersenyum lebar, merasa bahagia bisa menjadi bagian dari kehidupan mereka. Arsya hanya tersenyum melihat banyak anak-anak yang mencintai karan.
Hari itu, karan dan anak-anak panti asuhan menghabiskan waktu bersama, bermain, belajar, dan tertawa bersama. Mereka juga melakukan kegiatan bakti sosial, membersihkan lingkungan sekitar panti asuhan dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Tak terasa hari mulai gelap dan karan harus pulang, karan pulang tidak bersamaan dengan arsya karena arsya telah pulang sejak siang tadi. Karan berjalan pulang setelah sebuah acara bakti sosial di panti asuhan, matanya tetap bersinar terang meskipun hari mulai gelap.
Di tengah perjalanan pulang, ia melihat seorang nenek tua dengan kantong belanjaan yang terjatuh di trotoar. Tanpa ragu, karan segera berlari mendekati nenek itu. “Maaf nek, izinkan saya membantu anda” ucapnya ramah sembari mengumpulkan barang-barang yang tersebar.
Nenek itu terkejut dan tersenyum gembira melihat bantuan yang diterimanya. “Terima kasih, anak muda. Kamu sangat baik,” ucap nenek itu dengan suara gemetar. Karan tersenyum dan mengantar nenek itu pulang dengan membantu membawakan barang belanjaannya. Di perjalanan pulang mereka berbincang-bincang, dan karan mendengarkan dengan penuh perhatian cerita-cerita dari kehidupan nenek itu.
Setibannya di rumah nenek tersebut, karan membantu nenek itu menata barang-barang belanjaanya di depan pintu rumahnya. “Terima kasih banyak, nak. Tuhan pasti membalas kebaikanmu,” ucap nenek itu serta menepuk-nepuk pundak karan. Ia tersenyum dan mengangguk, “sama-sama, nek. Saya senang bisa membantu nenek,” ucapnya dengan tulus.
Setelah berpamitan dengan nenek itu, karan melanjutkan perjalananya pulang ke rumah. Meski hari telah menjelang malam dan kelelahan mulai menyergap, namun hatinya merasa hangat.
Setiap kebaikan yang ia lakukan, setiap senyuman yang ia berikan, setiap tawa yang ia bagi, semuanya menjadi obat bagi lukanya sendiri di masa lalunya.
Saat tiba di rumahnya, karan di sambut oleh aroma makanan yang sedap. Karan memasuki rumah dengan senyuman di wajahnnya, merasakan kehangatan dari rumah yang sederhana namun penuh cinta. Ia melihat ibunya sibuk di dapur, menyiapkan makan malam dengan penuh kasih sayang.
“Bun, aku pulang,” sapa karan lalu menghampiri ibunya dan mencium pipinya. Ibunya tersenyum melihat karan pulang, “Nak. Bagaimana hari ini? Apa yang kamu lakukan?” tanya ibunya sambil meyajikan makan malam diatas meja makan.
Karan pun menceritakan dengan antusias semua kegiatan yang dilakukannya hari itu, dari kunjungannya ke panti asuhan hingga pertemuan tak terduga dengan nenek tua di perjalanan pulang. Ia merasa senang bisa berbagi kebaikan dan membuat orang lain bahagia. Ibunya mendengarkan dengan bangga, matanya berbinar melihat putranya yang begitu baik hati dan bersemangat membantu orang lain meskipun dalam kondisi sulit dengan kanker paru-paru yang ia derita.
“Kamu memang anak yang luar biasa, Nak. Ibu bangga padamu,” ucap ibunya sembari mengelus kepala karan dengan lembut. Karan tersenyum bahagia mendengar kata-kata ibunya.
“Terima kasih, Bun. Semua ini tak lepas dari kasih sayang dan dukunganmu,” kata karan sambil memeluk ibunya dengan erat.
Mereka pun duduk bersama di meja makan, menikmati makan malam sambil bercerita tentang berbagai hal. Meski hidup mereka sederhana, namun kebahagiaan dan cinta yang mereka rasakan membuat rumah mereka menjadi tempat yang penuh kehangatan serta kebahagiaan.
Setelah makan malam, karan membantu ibunya membereskan dapur. Mereka berbincang-bincang sambil sesekali tertawa, menikmati kebersamaan yang hangat di rumah sederhana itu. Karan merasa bersyukur memiliki ibu yang begitu pengertian dan penuh kasih sayang.
Meskipun masa lalunya penuh dengan luka dan kesulitan, namun ia percaya bahwa setiap kebaikan yang ia lakukan akan membawa kebaikan juga bagi dirinya sendiri. Dan di tengah-tengah kehangatan rumahnya, karan merasa bahwa setiap luka yang ia alami telah menjadi lembaran baru dalam hidupnya, lembaran yang diisi dengan kebaikan, cinta, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Beberapa hari kemudian, saat ia sedang sibuk membantu tetangga di sekitarnya, tiba-tiba ia merasakan sesak napas yang hebat. Nyeri di dadanya kembali muncul, membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi rasa sakitnya semakin parah. Pada saat itu juga ia tak sadarkan diri dan jatuh tergeletak di tanah, tetangga yang melihat kejadian itu lantas berteriak memanggil ibu karan dan menghubungi pihak rumah sakit, tak berselang lama mobil ambulans tiba dengan suara sirine yang mengiringinya. Petugas rumah sakit sigap memberikan pertolongan pertama dan mengangkat karan masuk ke dalam mobil ambulans.
Setibanya di rumah sakit ia segera di larikan ke ruang unit perawatan intensif (ICU). “Ruang ICU adalah ruangan tempat bertaruh nyawa, disinilah sering menemukan doa-doa paling tulus, selalu banyak tangisan dan harapan, berharap suatu keajaiban akan datang.” Dokter memgonfirmasi bahwa kanker paru-parunya telah memasuki tahap stadium 4. Karan terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, dengan selang-selang yang terpasang di tubuhnya serta terdengar suara monitor yang terus memantau kondisinya yang semakin menurun.
Ibu karan duduk di samping tempat tidur anaknya, menangis dengan tersedu-sedu, tidak bisa menahan rasa takut akan kehilangan putranya. Para dokter dan perawat berusaha keras untuk merawat karan, tetapi penyakitnya terlalu kuat. Meskipun begitu, karan tidak pernah kehilangan semangatnya. Temannya, tetangganya dan orang-orang yang pernah ia bantu. Mereka datang menjenguk karan di rumah sakit, memberikan dukungan moral dan doa untuk kesembuhannya.
Hari berganti hari, karan tetap berjuang melawan penyakitnya, meskipun setiap hari menjadi semakin sulit baginya. Namun, bahkan di tengah penderitaan, ia masih menemukan cara untuk tersenyum bahagia ke semua orang. Walaupun takdir telah menulis kisahnya dengan luka yang begitu dalam, karan tetap percaya bahwa di balik semua penderitaan ini, ada kebaikan yang akan mengalir. Dan meskipun akhirnya karan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ia mungkin tidak akan sembuh dari penyakitnya.
Kondisi karan semakin memburuk, tubuhnya semakin lemah terbaring di ruang unit perawat intensif (ICU), namun semangatnya tetap kuat. Ia masih sanggup menghibur orang-orang di sekitarnya dengan senyuman dan kata-kata penyemangat. Ibunya hanya menangis terseduh- seduh melihat putranya yang hanya bisa terbaring lemah. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain memberikan dukungan kepada putranya sepanjang waktu. Teman-teman dan tetangganya juga tidak pernah meninggalkannya, mereka datang setiap hari untuk menjenguk.
Kondisi karan semakin memburuk, tubuhnya semakin lemah terbaring di ruang unit perawat intensif (ICU), namun semangatnya tetap kuat. Ia masih sanggup menghibur orang-orang di sekitarnya dengan senyuman dan kata-kata penyemangat. Ibunya hanya menangis terseduh-seduh melihat putranya yang hanya bisa terbaring lemah. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain memberikan dukungan kepada putranya sepanjang waktu. Teman-teman dan tetangga-
tetangganya juga tidak pernah meninggalkannya, mereka datang setiap hari untuk menjenguk karan, membawakan bunga, mendoakan kesembuhannya, dan menghabiskan waktu bersama karan.
Di tengah kepedihan yang ia rasakan, karan menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia merenungkan perjalanan hidupnya, mengingat semua momen indah dan pahit yang pernah ia jalani. Saat malam berganti pagi, karan merasa semakin lemah. Ia tahu bahwa akhirnya telah tiba. Namun, ia tidak takut akan kematian dirinya, ia menerima takdirnya dengan lapang dada, karena ia tahu bahwa kebaikan yang pernah ia tanam akan terus hidup dalam hati orang-orang yang pernah ia sentuh.
Saat matahari terbit, karan menghembuskan napas terakhirnnya di samping ibunya, semua orang menjerit tangis, mereka merasa kehilangan orang yang paling berharga. Namun, meskipun karan telah pergi, warisannya tetap hidup. Kisah tentang kebaikan dan semangatnya akan terus menginspirasi dan menghangatkan hati orang-orang yang peranah ia kenal.
Di antara luka yang terukir di hati, ada kebaikan yang tak terlupakan. Lembaran luka karan oka pratama berujung pada kebaikan yang akan terus mengalir, memberi inspirasi kepada banyak orang untuk tetap berjuang. Dan meskipun ia telah pergi, namun jejaknya tetap abadi dalam ingatan dan doa-doa orang yang pernah ia bantu dengan kebaikan hatinya.
Oleh: Syahrul Ramadhan (Pelajar SMAN 1 Duripoku)