Winnie the Pooh adalah salah satu tokoh cerita anak-anak yang diciptakan penulis Inggris, A.A Milne seusai orang dunia Pertama.
Pooh seekor beruang coklat yang tinggal sendirian di salah satu tempat imajinatif yang paling indah di dunia bernama hutan aman. Ia satu kampung dengan keledai, kelinci, kangguru, macan hingga lebah dan kupu-kupu.
Pooh lucu, tulus tapi juga amat sangat lugu. Gara-gara keluguannya, Pooh pernah bingung mencari makna sahabat.
Ada yang mengatakan bahwa sahabat adalah seseorang yang ingat hari ulang tahunnya, mau mengalah dan memaafkannya, bisa bermain loncat-loncatan tanpa meloncatinya terlalu tinggi, setia bahkan di masa sulit, dan sebagainya dan seterusnya.
Berhubung definisi itu panjang-panjang, Pooh bertambah bingung. pencerahan justru di dapatnya dari anak kangguru, bahwa sahabat adalah seseorang yang mengajaknya bermain.
Lewat definisi itu, Pooh segera menemukan bahwa sahabatnya adalah si kecil Piglet yang selalu mengajaknya bermain, juga merayakan ulang tahunnya, piknik bersama, memberikan kursi kesayangannya, memberi potongan kue terbesarnya dan begitu setia hingga Pooh hampir melupakannya.
Definisi ini tentu amat bersahaja.
Bagi anak, bermain adalah sebuah hak asasi sekaligus kata kerja yang bernilai luhur.
Sayangnya, dalam dunia orang dewasa, bermain justru berkonotasi minor. Bermain bisa berarti melakukan sesuatu yang tidak produktif, terlalu memanjakan diri, tidak bertanggung jawab, mementingkan diri sendiri. Atau bahkan cuci tangan dari resiko yang seharusnya ditanggung.
Bermain adalah aktivitas yang tidak matang. Meskipun dalam konotasi umum, main uang, main perempuan atau main kekuasan.
Tentu saja hal ini tak dapat dibenarkan, minorisasi kata bermain itu sendiri merupakan bukti bahwa sebagian orang dewasa justru telah melupakan sejarahnya sebagai anak-anak dan menegasikan kebutuhannya untuk menemukan makna terindah dari hubungan antar manusia yakni bersahabat.
Bagi anak-anak sesungguhnya, bermain dengan anak-anak lain adalah belajar beraktivitas sosial. Dalam bermain, seorang anak belajar mensyukuri kebersamaan, menoleransi perbedaan, mengelola konflik secara sehat hingga belajar menertawakan kelemahan diri sendiri.
Karenanya, bermain adalah juga sebuah proses untuk mencari sahabat yang sebenarnya. Yang dapat bersama dalam tawa dan duka, menerima kalah tanpa mendendam, membagi kemenangan dan keberuntungan sampai dapat tahan bertengkar dengan jujur dan kalau mungkin mengakhiri marah dengan air mata dengan pengertian yang lebih dalam.
Jika permainan telah selesai, Ada juga perpisahan untuk kembali ke ruang pribadi masing-masing. Rumah masing-masing untuk mandi, shalat dan tidur. Dengan harapan kalau bisa bermain kembali besok harinya.
Memang, tidak akan pernah ada sahabat yang abadi. Sahabat abadi adalah Tuhan sendiri.
Lagi pula, ketulusan hubungan antar manusia itu nonsens dalam hubungan sosial yang umum. Apalagi dalan hubungan ekonomi dan politik.
Gagasan persahabatan politik misalnya pasti terasa asing. Bahkan sinting. Terapi tidak ada orang dewasa yang tidak mengawali hidupnya dengan menjadi anak-anak.
Jadi, dimanapun tak ada salahnya untuk mencoba bermain dengan sehat dan berkawan dengan tulus. Dengan keluhuran kanak-kanak yang masih teringat. Siapa tahu, Tuhan mau menyamar dan menawarkan (menyembuhkan) konflik-konflik yang potensial atau telanjur mengakar.