Sepertinya Ada Yang Keliru Dengan Pendidikan Kita?

Sudah beberapa kali sistem pendidikan kita diubah dan diperbaharui. Sependek pengetahuan saya hampir setiap sepuluh tahun sekali di ganti. Dengan perubahan-perubahan tadi diharapkan terjadi perubahan di lapangan. Proses belajar mengajar guru dan murid akan mengalami perubahan pula.

Tetapi apa yang sebernarnya terjadi di ruang-ruang kelas? Yang dapat kita saksikan di sekolah tidak jauh berbeda dengan problem pendidikan pada zaman kolonial dulu. Proses belajar mengajar sejak tahun 1940-an sampai kini tetap tak banyak berubah.

Potret pendidikan kita dapat digambarkan seperti ini, pagi-pagi sejumlah murid masuk kelas duduk secara tertib dan diam, kemudian masuk guru untuk mengajar, sebagian besar waktu untuk menerangkan sambil sekali-kali menulis di papan tulis, murid mendengarkan dan mencatat. Setelah pelajaran selesai, menyusul pelajaran berikutnya. Murid duduk secara tertib kemudian masuk guru untuk mengajar, dan begitu seterusnya.

Cara belajar murid pun juga sama sejak zaman purbakala. Pada malam hari anak-anak menghapal catatan atau mengerjakan hitungan-hitungan sambil matanya menatap ke langit-langit rumah dan mulut komat-kamit menerocoskan apa saja yang tertulis dalam catatan. Lalu muncul barangsiapa yang rajin “menghafal” dan “mengerjakan PR” ia akan menjadi murid yang baik.

Kemudian angka-angka yang diperoleh dari pelajaran semacam itu akan mendudukkan anak sebagai rangking pertama di kelasnya. Juara-juara sekolah akan mendapatkan prioritas melanjutkan ke sekolah yang lebh tinggi. Dan di sana proses belajar mengajar serta teknik belajar tetap sama seperti di sekolah sebelumnya.

Kapankah pemandangan ini dapat diubah? Bagaimana murid dapat bebas bergerak di dalam kelasnya tetapi tetap belajar? Bagaimana murid-murid dapat mengerluarkan pendapatnya dan berbicara di depan guru dan teman-temannya? Bagaimana anak benar-benar mengetahui salah satu cabang ilmu pengetahuan tanpa mengucapkannya “luar kepala” tetapi dengan kata-kata dan gaya berbicara mereka sendiri? Beragam keluhan akibat proses belajar mengajar kita yang semacam itu sejak dulu sering terdengar.

Sementara di sisi lain para siswa tak mampu menulis dengan sistematika dan bahkan dengan bahasa yang logis. Para terpelajar tak mampu berpikir sistematis. Anak-anak tak dapat mengutarakan pendapatnya. Para lulusan perguruan tinggi tak mampu menulis.

Semua itu berinti pada ketidakmampuan kaum terdidik untuk “berbicara”. Mereka adalah kaum gagu. Mereka hanyalah robot-robot yang digunakan oleh pola pikiran dan buku-buku. Selama di sekolah akan jago tapi dipergaulan mungkin ia kalah terampil dan cekatan dengan temannya yang punya rangking rendah. Itu semua akibat dari pemandangan pendidikan di ruang-ruang kelas tadi.

Mereka gagu lantaran tak pernah diajak berbicara. Mereka kurang tangkas berpikir karena tidak diberi kesempatan berpikir. Dalam beberapa kasus para juara lomba ilmiah remaja mengaku mereka “berpikir” dan “menemukan sesuatu” bukan akibat proses belajar mengajar dalam kelas. Tetapi karena “otodidak” atau dipengaruhi faktor luar sekolah.

Berbagai sistem pengajaran yang selama ini diterapkan di Indonesia barangkali di pelajari dari sistem pendidikan yang terbukti efektif di negara-negara maju.

Bagi negara maju sistem itu efektif karena ditimba dari kondisi sosial mereka yang memang maju. Kalau sistem pengajaran insruksional, sistem kredit dan apa pun namanya itu kita ambil dari buku-buku tebal teori pendidikan mereka, maka hasilnya tetap akan berupa anak-anak gagu secara bahasa maupun berpikir.

Barangkali yang tepat menurut saya adalah kita mempelajari dan mencontoh sistem pendidikan  negara maju itu dari masa lampaunya. Cara kita mendidik anak-anak kita sekarang sekarang ini bagusnya mirip sekolah dalam film serial tahun 80-an yang diputar di TVRI “Lilttle House” nya Laura Inglas. Suara boleh ribut tapi di lapangan tak terjadi apapun. Anak-anak tetap bersorak gembira begitu “siksaan” di sekolah selesai.

Sistem pendidikan yang baik tentu saja harus dibikin sendiri. Kalau mau mencontoh barangkali malah jangan menengok pada negara maju yang kondisi sosialnya jauh berbeda dengan negera berkembang.

Contohlah salah satu negara di asia atau amerika latin yang kondisi sosialnya tak jauh berbeda dari kita namun berhasil menyelenggarakan pendidikan secara efektif. Kongkritnya cara orang kaya mendidik anak-anaknya pasti berbeda dengan cara orang miskin mendidik anak-anaknya.

Perubahan pendidikan bagaimana pun idealnya kalau tidak berlandaskan kondisi sosial yang ada yakin saja takkan berhasil.

Saya kira beberapa kondisi perlu dipertimbangkan agar setiap strategi pendidikan betul-betul berhasil. Misalnya perlu memperhatikan konteks sosial pendidikan kita yang selama ini terbengkalai. Orang hanya pintar berteori tentang pendidikan tapi tak tahu kondisi lapangan yang sebenarnya.

Tentu masih banyak yang perlu dibenahi bagi kemajuan pendidikan di negeri kita. Pendidikan yang selama ini jauh dari kehidupan nyata bangsanya. Pendidikan yang melangit tidak membumi.

Selamat Hari Pendidikan..