Layang-layang atau layangan yang kita kenal terbuat dari lembaran kertas minyak berbahan tipis berangka bambu yang diurut tipis. Diurutnya setipis mungkin tapi diperkirakan tetap kuat sehingga mudah diterbangkan ke udara.
Layangan terhubung dengan tali atau benang dengan “empunya”. Tali itu berfungsi untuk mengedalikan. Sementara layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin untuk membawanya mengudara.
Kali ini saya tidak akan menggiring sahabat pembaca untuk mengupas tuntas apa definisi dari layang-layang. Namun saya akan bercerita tentang keseruan saya bermain layang-layang, meski tak sesuai dengan harapan.
Jadi, hari ini saya bangun kesiangan karena semalam saya habis melaut mencari ikan. Maklumlah ayah saya seorang nelayan jadi anaknya juga hobi memancing.
Setelah bangun dan mandi, saya duduk santai di depan rumah menikmati secangkir kopi hangat yang dibuatkan adik perempuanku.
Asik duduk di depan rumah, kulihat banyak anak-anak berlarian kesana kemari bermain layangan. Jadi teringat masa kecil dulu.
Saya juga pernah seperti mereka tidak kenal waktu meskipun di siang bolong tetap berlarian menarik layangan meskipun tahu kalau layangan itu tidak bakal bisa terbang tinggi. Tapi disitulah letak keseruannya bisa kumpul bersama teman-teman. Sekaligus bersembunyi dari tidur siang.
Entah apa yang merasuki pikiran ku hari ini, apakah saya rindu akan momen delapan tahun silam untuk bermain layangan. Atau hanya ingin menghilangkan kejenuhan karena tak ada aktifitas?
Yang jelas saya tertarik untuk bermain layangan hari ini yang tidak pernah lagi saya lakukan semenjak delapan tahun silam.
Saya beranjak dari tempat duduk, kuayuh langkahku menuju ke rumah kakak untuk mengambil layang-layang milik keponakan.
Sambil berjalan saya membayangkan kalau nanti layangan ini terbang pasti sangat keren, benangnya bisa berdiri tegak tepat diatas kepala seperti di festival layang-layang yang biasa diadakan setiap tujuh belas agustusan.
Ku Percepat langkah ku untuk keluar dari rumah karena terasa angin diluar sudah mulai berhembus kencang, seperti membawa pesan ke telinga, “Ayo cepat layanganmu akan terbang dengan indah ke udara”.
Setelah sampai di depan rumah, ku pinta kakak ku untuk memegang layangan itu. Kemudian saya mengulur benangnya sepanjang mungkin agar bisa terbang tinggi.
Awalnya layangan itu terbang dengan mudah dan mengudara dengan indah. Namun setelah kurang lebih 100 meter saya mengulur benangnya, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan layangan yang saya terbangkan karena memiliki rangka yang terbuat dari bambu tipis berakibat tidak tahan dengan tiupan angin kencang.
Alhasil bukannya mengudara dengan indah malah layangan itu cuma bisa berputar-putar seperti gasing.
Saya ulur lagi layangan itu, berharap bisa terbang dengan maksimal tapi sangat disayangkan bukannya membaik malah makin berputar, akibatnya layangan itu jatuh diatas pohon kelapa. Ah.. sedih rasanya.
Saya duduk sejenak di bawah pohon kelapa itu dan memikirkan bagaimana caranya untuk mengambil layangan yang nyangkut.
Kurang lebih 10 menit saya duduk hanya memikirkan caranya, mau memanjat pohon kelapa tapi takut ketinggian, bahkan sempat juga terlintas dalam pikiran bagaimana jadinya kalau saya sementara di atas pohon tiba-tiba ada ular, seperti di cerita dongeng. Ih.. ngeri.
Ahh.. sudahlah, mending memikirkan cara lain agar layangan itu bisa turun dari atas pohon kelapa dengan aman.
Akhirnya ku putuskan untuk menarik benangnya dan mengolornya, ku tarik dan mengulurnya lagi dengan perlahan, begitu seterusnya sampai layangan itu bisa jatuh ke tanah. Semua itu kulakukan dengan hati-hati penuh perasaan takut benangnya putus atau kertasnya koyak.
Ternyata benar kata orang “ketika kamu menerbangkan layangan, semakin kau mengulur benangnya, semakin kau takut kehilangan”. Ah, sebuah kata filosofis, dan saya tak sanggup membantahnya.