Bagi saya, Indonesia itu seperti batu permata yang belum terasah. Belum bersinar, tapi potensinya luar biasa. Tugas kita adalah membuatnya berkilau.
Saya yang pernah tinggal di luar negeri memilih untuk pulang. Saya benar-benar merasa bahwa Indonesia adalah rumah. Saya yakin suatu hari negara ini akan menjadi lebih baik, bukan hanya karena potensi pasar yang menjanjikan, tapì karena kita memiliki sumber daya yang luar biasa.
Oleh karena itu, sebagai generasi yang lebih muda, kita harus membuktikan bahwa bangsa kita memang bisa. Contohnya dengan bersikap percaya diri, melestarikan keanekaragaman, dan berbisnis yang beretika
Pentingnya Percaya Diri
Tak bisa dimungkiri sebagian generasi Indonesia masih mewarisi mental inlander. Minder, bahkan selalu merasa sebagai bangsa nomor dua. Tak jarang produk bangsa sendiri dinilai berkualitas lebih rendah. Seperti kata pepatah, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau.
Untuk menjawab persoalan itu, kita harus menumbuhkan sikap mental yang kuat. Kita harus percaya bahwa apa pun yang berasal dari bangsa ini tidak kalah dengan buatan negara lain. Industri makanan, misalnya. Tak sedikit yang bisa menghasilkan produk-produk yang dapat bersaing dengan produk asing, bahkan mengekspor dan menjadi market leader di negara lain.
Saya tidak takut bila suatu saat akses pasar tenaga kerja dibuka. Orang Indonesia tidak akan menjadi terbelakang. Dalam beberapa hal, tak sedikit dari kita yang lebih unggul. Buktinya, banyak saudara kita yang menjadi tenaga ahli di berbagai institusi terkemuka di negara maju. Sekali lagi, kuncinya percaya diri.
Rasa percaya diri akan muncul ketika kita benar-benar mencintai Indonesia, termasuk bahasa dan pendidikannya. Oleh karena itu. jangan serta-merta mengadaptasi pendidikan internasional.
Amat disayangkan jika seorang anak yang disekolahkan di institusi bergengsi kemudian lupa akarnya. Anak teman saya bersekolah di lembaga internasional dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Sungguh disayangkan. Padahal, dengan jumlah pemakai yang banyak, suatu saat bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang dipandang penting untuk dikuasai di dunia.
Dahsyatnya Keanekaragaman
Indonesia sangat majemuk. Kita tidak hanya mempunyai keanekaragaman hayati, tapi juga keanekaragaman budaya. Namun, amat disayangkan, kekayaan itu belum banyak digali. Alih-alih menjadi sumber inspirasi, sering kali perbedaan justru menjadi sumber konflik di beberapa tempat.
Bila kita cermati, keanekaragaman budaya mulai menghilang di beberapa tempat di Nusantara. Kebiasaan kita melakukan stereotipe membuat kultur dengan populasi yang lebih kecil terancam musnah karena tidak dikenal.
Sebagai contoh, dari banyaknya suku yang mendiami suatu wilayah, sering kali kita hanya memberikan label satu nama atas beberapa atribut sebagai suku dan budaya asli yang berasal dari daerah itu. Akibatnya, minoritas jadi terlupakan.
Penduduk pribumi di Papua Barat, misalnya. Kita cenderung memberi mereka stereotipe berkulit gelap, berambut keriting, serta beragama Kristen. Padahal, ada beberapa tempat di Papua Barat yang memiliki penduduk asli tanpa stereotipe itu.
Begitu juga Sumatra Utara, tidak selalu identik dengan Batak, tapi juga Melayu Deli seperti yang bisa kita lihat dari istana kesultanan yang masih berdiri di sana. Jika tidak hati-hati, kearifan lokal yang ada akan ikut terkikis seiring dengan “pengasingan” yang kita lakukan.
Layaknya keanekaragaman hayati yang akan menghasilkan plasma nutfah, keanekaragaman budəya merupakan sumber ide luar biasa unik yang akan melahirkan berbagai inovasi.
Lihat saja, betapa banyak kuliner tradisional di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua. Dengan sentuhan teknologi, kuliner itu akan menjadi komoditas yang berpotensi disukai banyak orang dan laku di pasaran, baik di dalam maupun luar negeri.
Fenomena wedang sarabba adalah salah satu contoh nyata. Dulu, minuman ini hanya dikenal di Makassar. Namun, sekarang banyak orang mengenalnya lantaran telah diproduksi secara massal sebagai minuman serbuk.
Selain kuliner, masih banyak potensi lain yang masih terpendam. Tugas kita adalah menggali dan menjadikannya kebanggaan bersama yang bisa mendatangkan manfaat bagi semua orang.
Etika Bisnis yang Berkelanjutan
Alam Indonesia begitu indah. Jika kita kelola dengan baik, banyak tempat akan menjadi tujuan wisata bak surga. Saya termasuk orang yang senang bepergian. Berdasarkan pengalaman, beberapa tempat di Indonesia, terutama baqìan timur, iauh lebih menarik dibandinakan beberapa lokasi di luar negeri yang pernah saya kunjungi. Namun perlu diingat, eksplorasi yang dilakukan harus beretika.
Saya berasal dari daerah pedalaman di Sumatra. Sewaktu saya kecil, masih banyak harimau dan gajah yang hidup di hutan sekitar tempat tinggal saya. Sayangnya, saat ini sudah tak tersisa lagi. Hutan di Sumatra semakin menipis. Sungguh memilukan. Semoga hutan di Papua tidak bernasib sama.
Bisnis yang berkelanjutan adalah jawaban untuk upaya pelestarian alam. Kita tidak boleh mementingkan perekonomian semata. Kita harus menyisakan dan melestarikan apa yang ada di alam untuk generasi mendatang.
Memang tidak mudah, apalagi jika didorong oleh keinginan mengejar keuntungan setinggi- tingginya. Tapi, dengan belajar dari apa yang sudah terjadi, semestinya kita bisa menjadi lebih bijak.
Penutup
Saat ini, banyak start-up bermunculan di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan kreativitas. Mereka belajar dengan cepat. Dimulai dari skala kecil, saat ini pasarnya semakin besar; tak hanya lokal tapi juga internasional.
Saya berharap kita terus berjuang dan bergerak bersama secara sinergis sesuai peran masing-masing. Pemerintah dengan tugasnya, warga negara dengan ranah masing-masing. Jika hal itu kita lakukan dengan benar, saya yakin Indonesia yang lebih baik bukan sekadar slogan.[]
Oleh : Mardi Wu (Penulis adalah CEO Nutrifood)