TOTTO-CHAN

Foto : Tetsuko Kuroyanagi (Google.com)

Gadis kecil itu dikeluarkan dari sekolah waktu umumya baru 6 tahun. Lalu ia besar dan jadi orang terkenal.

Totto-chan, apa yang terjadi? Guru bilang dia suka melamun. Dia suka bicara pada burung dan pada tukang musik jalanan. Dia suka menatap ke luar jendela kelas. Dia buka-tutup buka-tutup daun meja. Dia bertanya terlalu banyak, dan resah menanti jawaban.

Di Jepang, lebih setengah abad yang lalu, gadis kecil semacam itu memang harus keluar dari sekolah. Tapi dia tak menyesal.

Sebab kemudian oleh ibunya ia diserahkan ke sebuah sekolah yang unik, di bawah asuhan Sosaku Kobayashi. Di situ anak-anak bisa berkelas di gerbong kereta api tua.

Gurunya membawanya berjalan ke tengah alam. Para murid belajar tanpa urutan yang lazim. Mereka bisa memilih sendiri itulah Sekolah Tomoe; suatu keajaiban di Jepang yang waktu itu di bawah telekan kaum militer – dan menyiapkan diri jadi penguasa Asia.

Sekolah itu kemudian ikut hancur ketika pesawat B-29 Amerika menjatuhkan sejumlah bom di kota Tokyo, Tapi Totto-chan toh tak pemah melupakannya, dan tak pernah lepas membanggakannya. Apalagi dari Sekolah Tomoe itu pula kemudian muncul muridnya yang jadi ahli fisika terkemuka, ahli anggrek tersohor dan tentu saja Totto-chan sendiri.

Totto-chan adalah Tetsuko Kuroyanagi, bintang televisi Jepang yang jadi kesayangan jutaan penonton. Dia juga penulis. Bukunya tentang riwayat sekolahnya yang luar biasa itu merupakan fenomen luar biasa di Jepang: sudah lebih 5 juta eksemplar terjual, memecahkan rekor kelarisan buku di negerinya.

Versi Inggrisnya, dengan judul: Totto-Chan, The Little Girl at the Window, tak ayal jadi perhatian orang bukan-Jepang, ketika terbit menjelang akhir 1982.

Sebab buku itu pada akhirnya juga menyimpan suatu gugatan. Tetsuko Kuroyanagi menyajikan suatu alternatif bagi sistem sekolah di Jepang yang terkenal keras. Dia tak berlagak orisinal, tentu saja. Montessori, Rabindranath Tagore – dan terakhir Ivan Illich – telah lebih dulu membongkar sifat ketat, formal dan destruktif gaya “pendidikan” yang membelenggu anak-anak itu.

Tapi kisah otobiografis Tetsuko Kuroyanagi jadi aktual kembali, karena belenggu itu ternyata terus dan terus pula berjatuhan korbannya. Majalah Time awal Januari 1983 y.b.l. menyebut bahwa anak-anak Jepang, sekitar 50.000, ternyata menderita “phobia sekolah.

Ada kisah tentang dokter yang menemukan seorang anak berumur 13 tahun yang tinggal menyendiri di sebuah kamar gelap. Lebih dari setahun ia tak pergi ke sekolah. Ia menerima makanannya lewat satu celah di bawah pintu. Ia akan membentak keras-keras bila orangtuanya mendekat.

Masih lumayan. Sebab di pinggiran Tokyo ada seorang ibu yang membunuh anaknya – lalu membunuh diri – lantaran putus asa melihat si buyung menderita “phobia sekolah” dan tak bisa lagi diharap sukses. Sebab di Jepang dewasa ini, sukses berarti harus melewati jenjang sekolah dengan bagus sekali; bila perlu si anak tiap kali harus mengguyur kepalanya ketika kantuk tiba – buat menahan diri menghadapi ulangan besok.

Memang tak ada orangtua yang kepingin anaknya cuma ditaruh “di dekat jendela”. Dalam peristilahan bisnis Jepang. itu berarti disuruh duduk jauh dari pusat kegiatan, bilamana seorang karyawan perusahaan dianggap tak becus.

Toh bagi Totto-chan itu tak jadi perkara. Dialah “gadis kecil di dekat jendela”. Dialah contoh bahwa kebebasan jiwa, kegembiraan mencari, justru bekalnya sebelum ia jadi seorang Tetsuko Kuroyanagi: seorang gadis kecil yang dikeluarkan dari sekolahnya waktu berumur 6 tahun, dan beruntung. Bukan cuma karena nasib.[]

Oleh : Goenawan Mohamad (Budayawan)
Sumber : Caping 2. Pustaka Utama Grafiti 1994.