Pesona Al-Amin Masjid Tua Nan Bersejarah Di Tanah Kaili
Warga resah, masjid mereka tak sanggup lagi menampung jamaah yang jumlahnya kian hari kian bertambah.
Atas dorongan warga, beberapa tokoh masyarakat menemui Syarifah Isa binti Yahya Al-Mahdaly seorang wanita terpandang di kampung ini untuk mencari solusi.
Seperti gayung bersambut, Syarifah Isa tengah berencana mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid. Tanah yang di wakafkan itu seluas 45×54 m2 dengan surat wakaf tertanggal 3 desember 1906.
Letaknya pas di tengah perkampungan yang belakangan di kenal dengan nama Kampung Wani 2. Sebuah kampung yang berada dalam wilayah Kecamatan Tawaeli Kabupaten Donggala, sekarang.
******
Pada pertengahan abad ke-19, Wani adalah perkampungan nelayan yang ramai. Di Wani ada pelabuhan besar tempat persinggahan kapal yang melewati jalur perdagangan di Nusantara. Letaknya yang strategis menjadi magnet masuknya pendatang.
Di antara pendatang itu terdapat komunitas Arab dari Hadramaut Yaman. Mereka di pimpin oleh Sayyid Agil Al-Mahdaly. Seorang pedagang sekaligus mubalig yang memperkenalkan Agama Islam kepada warga setempat.
Interaksi yang baik dengan warga setempat membuat mereka betah. Akhirnya mereka meminta izin pada Raja Banawa ke-7, Mpue Mputi untuk membangun perkampungan.
Di kampung inilah lahir Syarifah Isa yang memprakarsai berdirinya masjid yang diberi nama Al-Amin.
Al-amin yang berjarak kurang lebih seratus meter dari pantai ini memiliki arsitektur yang unik. Masjid ini memadukan tiga unsur etnis sekaligus. Etnis Tionghoa, India, dan Arab.
Al-Amin di bangun menggunakan kayu ulin yang berasal dari Kalimantan. Tiang penyangganya ada delapan buah dengan empat tiang penyangga utama yang melambangkan empat sahabat nabi, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib. Sementara langit-langitnya di hiasi dengan ornamen kaligrafi indah dari Singapura.
Menurut catatan, masjid ini pernah di kunjungi pahlawan nasional pendiri Sarekat Islam H.O.S Cokroaminoto dan ulama sekaligus penulis roman terkenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Buya Hamka.
Ketika terjadi gempa disertai tsunami yang menerjang Teluk Palu dan sekitarnya 29 September 2018, masjid ini tidak mengalami kerusakan.
Menurut saksi mata saat kejadian, air terbelah begitu mendekati masjid sehingga masjid selamat dari terjangan gelombang.
Ajaibnya, menara Masjid Al-Amin yang sempat miring beberapa derajat saat kejadian. Tiba-tiba berubah beberapa hari setelahnya. Posisi menara kembali berada pada keadaan semula seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Padahal dahsyatnya tsunami di Wani telah meluluh-lantakkan semuanya termasuk bangunan lain di sekitar masjid.
Malah sebuah kapal yang berada tidak jauh dari Masjid Al-Amin bernama KM. Sabuk Nusantara 39 dengan bobot 500 ton terhempas naik ke darat dan terseret sejauh 70 meter. Kapal ini tidak hanya berpindah tempat tapi juga sempat merusak beberapa bangunan yang dilewatinya.
******
Saat ini Masjid Al-Amin tetap berdiri kokoh. Kharismanya sebagai salah satu masjid tertua di nusantara masih sangat terasa. Termasuk suasana lain yang saya rasakan kala pertama kali memasuki kompleks masjid.
Sebelumnya suasana terik sangat terasa di perkampungan itu maklum saya tiba pukul 13.00 siang. Posisi masjid dari bibir pantai juga sangat dekat.
Namun entah mengapa begitu kaki menginjak halaman masjid, suasana sekonyong-konyong berubah teduh. Padahal tak ada satu pun pohon rindang sebagai peneduh di halamannya.
Sementara di dalam masjid, walaupun tanpa pendingin udara tetap terasa sejuk, adem. Rasanya betah ingin berlama-lama disitu.
Saya baru sadar ketika membuat catatan ini. Rupanya saya mengunjungi Al-Amin bertepatan usianya yang ke-113 tahun, tanggal 3 Desember.
Tiba-tiba hati saya berbisik, “Barangkali begitulah cara Masjid Al-Amin menyambut tamu di hari jadinya”.
Wallahua’lam..