Sejak tinggal di Makassar, saya menikmati kesibukan setiap subuh selama bulan Ramadhan. Teman-teman satu kost, dan tentu dari kost-kost tetangga, akan bangun setiap dini hari, masak – sendiri-sendiri atau beramai-ramai – dan sahur. Lalu menyempatkan diri merokok dan minum kopi dengan nikmat seolah-olah itu rokok dan kopi terindah selama hidupnya.
Barulah setelah imsak dan azan subuh mereka menghentikannya untuk kemudian pergi sholat subuh, terus jalan-jalan pagi ramai-ramai, dan balik ke kost masing-masing, tidur lagi sebentar, sebelum melanjutkan aktivitas harian.
Satu-satunya aktivitas Ramadhan yang saya nikmati adalah persiapan sahur itu. Bangun sama-sama, ngobrol sambil sibuk di dapur. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya persahabatan kita di saat persiapan sahur itu erat sekali.
Saya tidak menikmati siangnya, karena semua warung tutup, di samping kalau mau makan selalu harus mencari tempat tersembunyi. Tidak enak sama yang puasa. Padahal, sejatinya itu tidak mengganggu. Teman-teman yang kebetulan melihat saya makan akan bercanda,”Penggoda ini..” Lalu saya membalas,”Namanya juga ujian, kawan..” Habis di situ, kami sama-sama tertawa.
Rekan satu kost, cewek-cewek kakak beradik dari Tolaki dan kawan-kawan dari Buton, punya kebiasaan menyiapkan masakan sahur lebih, katanya itu bagian saya. Boleh dimakan bersama, boleh disimpan buat makan siang. Katanya supaya saya tidak susah cari makan kalau siang.
Tidak ada syarat macam-macam. Saya juga enak saja tiap pagi ikut bangun dan membantu, minimal menemani mereka yang sibuk masak.
Pokoknya asyik… Tidak ada sweeping macam-macam, tidak ada wajah-wajah garang seperti yang kerap muncul. Semua bersahabat.
Buka puasa bukan hal yang spesial untuk saya kenang; rasanya biasa saja. Mungkin karena saat buka puasa tidak jauh berbeda dengan saat kami duduk-duduk minum kopi bersama kalau sore.
Kecuali, waktu masih melatih teman-teman remaja masjid di dekat kost qasidahan, saya sering dapat undangan buka bersama, atau dikirimi sesuatu saat berbuka. Selebihnya, kayaknya tidak istimewa.
Waktu aktif di PMKRI, bulan puasa berarti safari berbuka bersama dengan teman-teman ormas lain. Hari ini di HMI, besok ke PMII, lusa ke IMM, dan seterusnya. Itu saatnya berdiskusi masalah kebangsaan, atau sekedar ngobrol ini-itu. Tidak terlalu istimewa juga, karena di luar bulan Ramadhan pun kami sering kumpul, dan kami bersahabat bukan hanya dalam konteks sesama aktivis ormas.
Betul-betul yang indah untuk dikenang adalah bangun dini hari untuk ribut-ribut bersama di dapur saat menyiapkan sahur. Tidak ada larangan saya yang tidak puasa tidak boleh ikut nimbrung, semua cair. Tidak lagi jelas ini beras siapa, gula siapa, garam siapa, kompor siapa, dan seterusnya. Di dapur ya milik bersama. Sahur adalah kegiatan bersama.
******
Suatu kali, saya harus ke Bau-bau (ibukota Kabupaten Buton). Tepat bulan Ramadhan, dan karena tidak punya keluarga saya nginap di pastoran. Belum 1 jam di pastoran, salah satu teman asli Buton, muslim, datang menjemput. Dia bersikeras saya harus nginap di rumahnya. Setelah sama-sama pamit ke pastor paroki, kami ke rumahnya, nginap di sana.
Seperti biasa, dini hari saya ikut bangun, ke dapur dan bergabung dengan ibu dan adiknya yang sibuk masak. Ibunya bilang,”Nak, kenapa bangun? Tidur saja.” Mungkin beliau heran, mungkin canggung. Sampai anaknya menjawab,”Biar saja, dia biasa sahur sama-sama, padahal siang dia makan lagi, hahahahaha…”
Siangnya, sudah ada makanan buat saya di meja. Saya disuruh makan dan ditunggui sama orangtuanya, katanya takut saya sungkan makan.
Sore, waktu mau balik ke pastoran, temanku bilang,”Kalau kau nginap di gereja, tidak ada sahur di sana, kawan.” Betul juga, tidak ada aktivitas sahur di sana, tetapi saya harus balik. Itu pun, malamnya masih dikunjungi sama orangtuanya, sekedar melihat apakah kondisiku baik, sekalian mengantar hidangan berbuka.
******
Indah sekali suasana Ramadhan di masa itu, terutama saat sahur. Sampai saat ada peristiwa SARA di Makassar dan saya harus berhenti kuliah sementara teman-teman ini lah yang dengan setia setiap malam tidur di kamar kost saya, dan saya tidur di kamar mereka, beberapa minggu sampai saya punya kesempatan meninggalkan Makassar, itu pun diantar mereka.
Hampir sepekan Ramadhan, dan saya mengingat lagi semua teman-teman yang pernah tinggal serumah. Yang tiap hari bangun sahur bersama, dan tiap Minggu pagi mengingatkan saya untuk ke gereja. Yang tiap malam berdiskusi soal agama dan politik, lalu dilanjutkan dengan curhat soal pacar masing-masing.
Di mana pun mereka kini berada, semoga Ramadhan ini menjadi saat-saat pembaharuan diri dan semangat iman bagi mereka semua. Iman yang diwujudnyatakan dalam persaudaraan sejati, sebagaimana yang dulu saya alami bersama.
Selamat menjalankan ibadah puasa, sahabat-sahabatku, GBU all….