Bakso*

Gambar : Kompasiana

Ada atau tidaknya bakso tergantung jasa penggilingan, ketersediaan daging, bumbu dan kanji. Seandainya bakso itu punah, setidaknya bakso pernah hadir dengan segala romansa yang penuh nostalgia.

Meski daku belum sanggup membayangkan jika kehadiran bakso sampai tidak berkuah, pasti namanya sekedar pentolan.
Sudah namanya pentol, sering ditusuk lagi. Wah.. jauh dari kesan artistik, estetis dan justru terkesan sadistis.

Meski banyak digemari, bakso ternyata memiliki riwayat panjang sebelum masuk ke Indonesia.
Awalnya bakso menjadi persembahan sederhana seorang anak bernama Meng Bo kepada sang Ibu di Tiongkok sana.

Persembahan sederhana dari sisi tampilan yang justru membuat bakso terasa istimewa dan girang dinantikan penggemarnya. Ia terbilang mudah ditemui dihampir semua tempat, bahkan sanggup menyasar semua kelas sosial.

Mungkin karena bentuk bakso serupa bola pingpong, makanya dengan mudah melenting ke sana dan ke mari. Begitu sigap dan lincah menjelajah di jalan raya ibu kota, jalan setapak bahkan meringsek masuk sampai ke lorong buntu kompleks sekalipun.

Namanya juga bakso keliling, alias bakso nomaden. Jika langgar atau lewat di depan rumah, Abang bakso cukup mudah dikenali dengan bunyi sendok yang diketuk-ketukkan ke mangkuk.

Ting… ting.. ting…

Sebuah bunyi yang begitu khas, bahkan sudah mengabadi menjadi potongan lagu; “Abang tukang bakso, mari-mari sini, saya mau beli.” Lirik lagu “Abang Tukang Bakso” itu jika hendak diringkas, setidaknya mensyaratkan dua pesan.

Pertama, secara tersurat bakso seolah tidak pernah lekang di hati penikmatnya, meski kini harus berusaha bertahan di tengah gempuran tradisi baru; pesan-antar beragam kuliner lewat jasa titip (Jastip) bermodal gadget sembari rebahan di kamar.

Kedua, memang secara tersirat strategi merketing Abang gerobak bakso masih banyak yang konvensional, akan tetapi ia seolah memiliki sensor canggih yang seolah sanggup melacak keberadaan orang yang tengah didera rasa lapar.

Sebuah sensor yang seolah mampu menerawang jauh-sampai ke sebuah lorong di kompleks, di sebuah rumah kontrakan, bahkan sampai ke dalam kamar. Kamar kontrakan yang di dalamnya-tengah terbaring seorang mahasiswa yang tengah mati-matian menahan rasa lapar.

Inginnya makan nasi padang, tapi jatah kiriman dari kampung belum juga tiba. Di tengah gerimisnya malam dan rasa lapar yang menggila, dari jauh sayup terdengar bunyi mangkuk yang diketok sendok.

Bunyinya terdengar nyaring, nadanya tertata, bahkan temponya terasa presisi. Bisa jadi, Abang tukang bakso memiliki bakat terpendam sebagai musisi.

*Al-Fatihah dan sugeng tindak buat Pakde Tarmin-penggiling bakso di Majene yang baru-baru ini berpulang.

Abdul Muttalib: Pecinta perkutut tinggal di Tinambung.