PMII Metro : ‘Muda dan (belum) Berbahaya’

Gambar: Qureta.com

Berbincang dengan anak-anak muda soal orientasi gerakan memang terkadang membingungkan, penuh percabangan.

Bagaimana tidak, di tengah gempuran budaya instan, mereka ini kok masih bisa saja menyisakan ruang keberpihakan sebagai basis cara berpikirnya dan selalu ingin bergerak atas dasar ideologinya.

Karena kalau kita mau jujur, ruang keberpihakan ideologi sudah banyak direbut bahkan dikuasai nalar kekuasaan. Sehingga di dunia nyata dan maya pun, perbincangan didominasi copras-capres dengan irisan kelompok, kubu ini dan itu.

Sebagai ruang publik memang ini wajar. Dalam konteks demokrasi, siapa pun berhak menghamburkan gagasan dan ide-ide dalam kepala. Apalagi kita dimanjakan dengan kanal media melimpah. Informasi berbasis pada jari dan kuota internet masing-masing.

Lalu, mendapatkan asupan cerita dari anak-anak muda, yang mencoba memikirkan nasib ideologi dalam konteks kebangsaan, terutama ideologi kerakyatan, menurut saya ini agak aneh. Meskipun gerakan pemikiran ini sebenarnya dominan dan telah terbukti berhasil dalam merubah tatanan peradaban.

Kalau kita, lebih jeli melihat alur kebangkitan bangsa, bahwa gerakan pemikiran bukanlah subordinat. Ia dominan dan penting. Dan tak kalah penting dari gerakan fisik perlawanan. Misalkan dalam konteks kemerdekaan bangsa, kita tak akan bisa menafikan gerilya Jenderal Sudirman, tapi dalam relung pemikiran, gerakan wacana kebangsaan dan ke-Indonesiaan yang dilantangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari juga bisa menggelorakan perlawanan. Atau protes keadaan oleh Pramoedya Antara Toer melalui gagasan tulisan juga merupakan energi perlawanan yang tak bisa dikesampingkan. Dalam ruang inilah cara berjuang ala rakyat tak berpangkat sebenarnya memang harus kita apresiasi dengan sangat tinggi. Tentu setinggi perjuangan fisik para pahlawan.

Tetapi dalam konteks sekarang, ketika konteks perjuangan sudah bergeser, meneladani semangat juang para pendahulu ini seperti ingin memperoleh signal internet di daerah pegunungan, agak susah.

Karena sekarang, kita seakan dimanjakan oleh keadaan yang sangat menghibur. Kita bisa tertawa sendiri hanya dengan melihat sebuah layar dalam genggaman. Atau kita bisa merasa sangat benar dan pintar hanya dengan beberapa ketikan. Meskipun sebenarnya, dalam ranah ini menyisakan jurang menganga soal ketimpangan sosial dan isu-isu kerakyatan. Kita disuguhkan alur cerita pejabat dan publik figur dengan keberhasilannya, tapi di sisi nyata, rakyat biasa memperjuangkan sendiri nasibnya.

Dengan ini, saya diantara yang masih mempertanyakan bagaimana membuat keadaan  bisa lebih baik : isu-isu kerakyatan akan dominan bukan hanya diperbincangkan tapi juga diperjuangkan. Sehingga rakyat biasa tak sendiri lagi menghadapi terjalnya kehidupan.

Tapi begini. Beberapa malam lalu saya berbincang dengan anak-anak muda PMII Metro Makassar. Mereka begitu berbinar menceritakan cita-cita gerakannya : kemilau gerakan pemikiran dengan basis isu lokalitas dan daya tarung digital. Menurut saya ini kejutan. Karena hampir jarang ada anak muda yang mau cerita soal lokalitas apalagi tradisi. Hampir, semua lebih condong membincang soal tren dan hal-hal modern.

Lokalitas. Menurut mereka, merupakan energi dan spirit sekaligus identitas yang bisa menguatkan gerakan. Sehingga keberpihakan itu menyentuh dan lebih mengakar kuat. Masih menurut mereka, bahwa kita lahir dan tumbuh dalam gemerlap tradisi, maka menjadi pantas apabila menyerap energi ini. Menjadikannya sesuatu yang berharga dalam diri, tentu berdampingan dengan ideologi Aswaja An-nahdliyah yang penuh berkah.

Gerakan mereka juga sangat kontekstual. Memanfaatkan ruang digital sebagai salah satu arena perjuangan ; menyebarkan gagasan moderat dalam beragama dan mengarusutamakan isu-isu kerakyatan.

Berkaca lagi pada rentetan kebangkitan bangsa sejak era perintis kemerdekaan, tradisi yang berkolaborasi dengan paham keagamaan menjadi sangat tajam : bisa mengiris dan merubah arah peradaban.

Daripada saya bandingkan mereka dengan beberapa kecenderungan diskusi anak muda, yang lebih suka membincang ambisi jabatan daripada berempati pada isu kerakyatan, mending saya gambarkan dulu kondisi anak-anak muda ini.

Pertama, mereka lebih banyak waktu lapar daripada kenyangnya. Mereka rajin puasa?, tidak. Tapi, kurangnya pemenuhan prasyarat jenis-jenis makanan menjumpai mereka. Makanya, jarang heran kalau kita temui mereka lebih banyak minum kopi. Ini siasat saja menunda lapar. Ada alibi, bahwa energi dan kejernihan pemikiran, jarang lahir dalam keadaan sangat kenyang.

Kedua, mereka kuat begadang. Ini sebetulnya dampak dari hal di atas. Maka, ngopi dan terkadang baca buku kemudian diskusi jadi kebiasaan. Tapi kayaknya porsi ngopi lebih banyak, dibanding 2 aktivitas berikutnya.

Ada poin dari gambaran keadaan dari anak-anak muda ini : tidak jelas makannya, tidak jelas jam tidurnya, tidak jelas mandinya dan tidak jelas juga tempat tinggalnya. Kadang di kosnya teman, tapi lebih banyak tinggal di sekretariat.

Tapi, ketika berdiskusi tentang : komitmen ideologi, keberpihakan gerakan dan membincang isu-isu kerakyatan, mereka begitu tegas dan jelas.  Mungkin asupan ideologi dan pengetahuan dalam diri mereka hanya butuh segelas kopi untuk menjadi ‘kenyang’. Menggebu penuh semangat hingga tengah malam : bagaimana mendesain sebuah gerakan pemikiran, menggerakkan tradisi dan menguatkan daya tarung digital.

Gerakan pemikiran mereka ‘Muda dan Berbahaya?’ Tebak saja dari jam bangun paginya, hehe…