Yang Tersisa Dari Balaroa

Genap dua tahun musibah gempa bumi, tsunami dan liquifaksi menerjang bumi Pasigala (Palu, Sigi dan Donggala). Banyak kisah tragis, mistis dan memilukan hati berserakan dimana-mana.

Kisah para pengungsi, relawan atau para korban gempa itu coba saya kumpulkan satu persatu. Saya korek lansung dari mereka selama bersama relawan kemanusiaa Ansor dan Banser yang bergerak memasuki kota Palu maupun daerah-daerah lain yang terkena dampak gempa.

Selama tujuh puluh hari ralawan Ansor dan Banser terus bergerak dan bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain untuk membantu mengevakuasi korban dan membagikan logistik kepada para pengungsi.

Membangun kisah lewat narasi dari setiap tumpukan kata yang disusun dengan kalimat amatlah sulit. Jujur kadang saya tak bisa menyembunyikan air mata saat mengingat peristiwa itu.

Sebenarnya kisah itu tidak bertujuan untuk membongkar luka lama, ia hanya sekedar mengetuk pintu hati kita tentang sebuah peristiwa besar yang seharusnya membuat kita sadar akan pelajarannya. Sekaligus menjadi cermin bahwa kita pernah mengalami sebuah kehilangan besar.

Kisah itu salah satunya akan saya bagikan kepada anda.

******

Di timpa musibah terkadang membuat orang sering merindukan masa lalu yang dulu justru tak di sukai dan ingin ditinggalkannya. Dusun Winongo, tiba-tiba menjadi kenangan yang teramat indah bagi seorang lelaki bernama Santo yang tergolek lemah di Rumah Sakit Undata. Ia sering membayangkan hijaunya persawahan dan udara segar yang melingkupinya. Berbeda dengan udara rumah sakit yang panas dan gerah.

Santo kangen segera pulang ke kampung halamannya. Ia ingin menemui dan meminta maaf pada Inah, istrinya. Inah, ia tinggalkan tanpa pamit. Ia rindu bertemu anaknya Eko dan Dewi, lebih-lebih Atun yang ia tinggalkan saat masih menetek pada ibunya.

Tiga hari di rawat di Undata terasa panjang. Waktu yang berlalu tak hanya melelahkan namun hampir-hampir meruntuhkan semangat hidupnya. Dari dokter ia menerima kabar bahwa kaki kitinya harus diamputasi. Sebuah kenyataan pahit yang hingga detik ini belum sanggup ia terima.

Menunggu saat-saat operasi itu berjalan terus tanpa harapan. Terlebih di Kota Palu,ia sendiri. Seandainya saja memiliki teman yang bisa menolong mengabarkan keadaannya itu pada keluarga di tanah Jawa, tentunya nasibnya akan jauh berbeda.

Namun seandainya pun ada yang menolong untuk memberi kabar ke kampung, Ia ragu dalam hati. Apakah keluarganya mau menerima kehadirannya kembali? Bukankah kehadirannya nanti akan menjadi beban baru bagi istri dan anak-anaknya? Sudah tak ada uang, cacat pula. Namun ia berusaha menguatkan diri.

Sebenarnya baru dua hari Santo berada di Palu saat gempa terjadi. Ceritanya hari itu ia ingin mengunjungi seorang kenalannya. Kenalan itu ia temukan diatas kapal laut yang membawa mereka dari Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar menuju Pantoloan.

Kenalannya itu seorang Bugis. Lelaki itu berjanji akan membantu santo mencarikan pekerjaan kebetulan ia seorang mandor bangunan di Kota Palu dan menetap di Perumnas Balaroa. Perumnas itu terletak di Kota Palu sebelah barat.

Dengan modal keberanian berbekal nomor handphone. Ia tinggalkan Pelabuhan Pantoloan menuju Perumas Balaroa lepas Salat Jum’at. Namun apa yang ditemui di Balaroa sungguh diluar kuasanya. Ketika sore itu gempa menghajar Palu dan Peristiwa liquifaksi yang mengikutinya sungguhh menjadi peristiwa teramat kelam dalam hidupnya.

Ia terkenang. Ketika gempa terjadi ia berusaha menyelamatkan diri. Ia berlari kencang sekuat tenaga begitu melihat tanah di sekitar Perumnas Balaroa bergetar. Ia bahkan menyaksikan bebeberapa bangunan bergeser dan berpindah tempat meninggalkan posisi awalnya.

Namun malang nasib Santo sebuah bangunan yang berada di dekatnya tiba-tiba runtuh dan menimpa kakinya. Kejadiaannya sangat cepat sehingga ia tak sempat menghindar. Sakitnya luar biasa sampai-sampai tak bisa di gerakkan. Ia cuma mampu mengaduh dan meminta tolong.

Beruntung ada beberapa orang tiba-tiba lewat dan mengangkat tubuhnya. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Ia baru sadar dan menyaksikan tubuhnya terbaring di atas bangsal dalam rumah sakit Undata Palu.

“Tolong Mas, saya dicarikan relawan dari Jawa. Siapa tahu nanti bisa bantu mengabarkan keadaan saya pada keluarga. Handphone saya hilang. Saya tidak tahu siapa yang harus dihubungi.” Katanya memelas. Saya menganggukkan kepala dan menyalaminya kemudian berlalu.

Hari itu saya bersama beberapa kawan dari Tim Relawan Kemanusiaan Banser berusaha memastikan korban dari Pasangkayu yang dirawat di Undata. Di saat mengecek korban itulah kami menemukan Santo yang tergolek lemah sendiri.

Mendung tebal bergayut di atas Undata menemani langkah kami meninggalkan rumah sakit. Semuanya terdiam terlena dalam sunyi.