Membongkar 9 Kontroversi Film Penghianatan G30S/PKI

Setiap menjelang 30 September banyak perkara yang berbau PKI atau komunis ramai kembali dibicarakan. Bentuknya macam-macam dari diskusi, demonstrasi, penerbitan buku sampai pemutaran film.

Salah satu yang sering menimbulkan momok adalah pemutaran Film Penghianatan G30S/PKI. Memang hingga kini Film garapan Sutradara Arifin C. Noer ini masih menyandang status film kontroversial karena dianggap mengandung pro-kontra.

Berikut ini Sembilan hal yang menimbulkan kontrovesi dalam Film Penghianatan G30S/PKI:

1. Panjangnya jam tayang

Menjadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September diputar mulai tahun 1984 hingga tahun 1997. Berlangsung selama 13 tahun. Waktu penayangan yang cukup lama.

2. Durasi Film 4 Jam

Sependek ingatan saya amat jarang ada film yang diproduksi dengan waktu tonton sampai 4 jam. Barangkali yang bisa mendekati cuma film-film Bollywood alias film India yang diproduksi tahun 70-an hingga 80-an. film di era-nya Dharmendra, Kumar Gaurav atau Mithun Chakraborty.

Dari cerita, lagu-lagu plus tariannya bisa makan waktu sampai 3 jam. Kalau tidak sabaran kita bisa ketiduran. Atau badan pegal-pegal, kaki kesemutan sampai bokong kepanasan (karena lamanya). Tapi ingat tiga jam. Cuma tiga jam lho tidak lebih.

3. Berbudge tinggi

Biaya produksinya tidak tanggung-tanggung mencapai 800 juta rupiah. Untuk film era 80-an dengan anggaran sebesar itu sangat fantastis.

4. Film Terlaris Tahun 1984

Film ini beredar bersamaan dengan film “Satria Bergitar”-nya Bang Haji Rhoma Irama dengan jumlah penonton hanya 249.090. sementara film Penghianatan G30S/PKI, jauh diatasnya mencapai 699.289 penonton.

Meskipun unggul dalam jumlah penonton, namun kedigjayaan Film Penghianatan G30S/PKI diragukan kawan saya.

Katanya, “Film ini modus saja. Orang menonton dalam keadaan dipaksa. Apalagi anak-anak sekolah, mereka takut sama pak guru kalau tak nonton.”

Memang pada saat film ini tayang di bioskop-bioskop tanah air sekitar tahun 80-an, pemerintah Orde Baru memerintahkan semua anak sekolah menonton. Dia salah satu korbannya. Karena tak punya uang beli tiket. Dia tak bisa nonton dan dimarahi gurunya. Makanya dia trauma bila mengenang kejadian itu.

5. Gambar Kabur

Harap maklum, inikan film jadul jadi resikonya gambar pasti tidak memuaskan. (kalau yang ini sih tidak kontroversial..hehehe).

6. Tidak cocok ditonton anak-anak dan remaja

Adegan kekerasan seperti teriakan, pukulan ceceran darah dan aksi brutal lainnya banyak mewarnai film ini. Bahkan dialog awalnya di mulai dengan kata, “Darah itu merah jenderal. Merah itu amarah.”

7. DN. Aidit Perokok berat

Dalam film ini digambarkan DN. Aidit sebagai perokok berat. Padahal menurut Ibaruri dan adiknya iwan Hignasto (keduanya putra DN. Aidit), bapaknya tidak merokok.

8. Gambar Peta Tidak akurat

Gambar Peta Indonesia di Markas Kostrad memasukkan Timur Timor (Timor Leste) sebagai Wilayah Indonesia. Sementara tahun 1965/1966, daerah itu belum berintegrasi ke NKRI.

9. Tak Ada Penyiksaan Fisik

Tak ada pencungkilan mata, pemotongan al*t k*lam*n atau sayatan di tubuh korban. Keenam jenazah yang ditemukan tewas karena luka tembak. Satu orang lagi yakni Mayjen MT Haryono tewas karena luka tusukan.

Hal ini ditulis dalam Jurnal Indonesia Edisi April 1987 tentang laporan hasil visum Tim Dokter ahli yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno (Dr. Arief Budianto, dkk) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) yang memeriksa korban.

Begitu pun yang ditulis oleh sejarawan Ben Anderson dalam artikelnya berjudul: “How Did The General Die”.

******

Film Penghianatan G30S/PKI adalah film sejarah. Sejarah adalah wacana. Setiap wacana tidak lepas dari kepentingan dan kekuasaan.

Dengan dukungan penguasa, sebuah wacana tertentu bisa menjadi wacana dominan, yang lain terpinggirkan. Wacana dominan ini bisa beredar dari satu subyek ke subyek yang lain. Termasuk FILM.

Jadi, seumpama ada keinginan menonton Film Penghianatan G30S/PKI. Mari menonton dengan kritis.