Ada anggapan begini: setiap orang dewasa punya sisi kepribadian ‘kanak-kanak dari masa lalu’ masing-masing.
Sisi kanak-kanak ini tidak pernah – atau minimal jarang – dipedulikan ketika orang bertumbuh menjadi semakin dewasa.
Sisi ini hilang, tertimbun di alam bawah sadar, tapi ada. Jadi, ketika orang menikah, sebenarnya bukan 2 pribadi, tapi 4 pribadi yang mencoba hidup bersama.
Dari hakekatnya, pernikahan menjanjikan suasana ‘at home’ bagi suami-istri.
Dalam suasana ‘at home’ inilah, kepribadian kanak-kanak masa lalu alias ‘inner child of the past’ menyeruak ke permukaan: mencoba mengais suasana masa kanak-kanak masing-masing yang pernah dialami dulu.
Ketika 2 pribadi dewasa berusaha menyesuaikan diri satu sama lain dan mencoba memahami segala hal baru dalam cara berpikir orang dewasa, 2 pribadi kanak-kanak saling bertikai dalam kelakuan karena berusaha saling mengalahkan.
Kanak-kanak yang satu berusaha menunjukkan kelebihannya dari masa lalu, kanak-kanak satunya lagi tidak mau kalah untuk hal yang sama. Maka, dimulailah pertengkaran-pertikaian besar untuk hal-hal yang sepele dan kecil.
Yang satu mulai membanggakan suasana keluarganya ketika masih kanak-kanak, satunya lagi merindukan suasana kanak-kanaknya di masa lalu muncul kembali.
Yang satu merindukan ‘home’ di masa lalu, pasangannya mendambakan pula hal serupa dari masa lalunya.
Kemudian, keduanya mulai saling meniadakan, saling menolak, berlomba menciptakan ‘home’ masa lalu, dan bereaksi seperti ketika masih kanak-kanak untuk hal-hal sepele. Mulai merajuk, ngomel, sampai ngamuk. Kadang langsung ke pasangan, kadang memutar lewat ‘jalan belakang.’
Dan, kedua pasangan mulai merasa saling tidak mengenal lagi: ‘si dia tidak lagi seperti waktu pacaran.’
Maka, sesuai jaman now, ramailah orang ngamuk berkedok curhat soal rumah tangganya lewat medsos: biar seisi dunia tahu kecuali pasangan sendiri!
Bagi yang tidak paham, pasti sangat aneh melihat orang memilih curhat di medsos dan diliput seluruh dunia daripada curhat langsung ke pasangan masing-masing. Padahal, ini sebenarnya sifat kanak-kanak yang sedang menyeruak ke permukaan.
Bukankan ketika kita kecil, kita sering mencari pembenaran lewat curhat ke teman-teman ketika mendapat masalah?
Waktu kecil pula, kita sering mencari dukungan dari kawan-kawan atau orang sekitar ketika harus menghadapi sosok yang jadi saingan.
Bedanya sekarang, selain lewat kelompok gosip bersama, medsos kini jadi ajang mencari dukungan, meski hanya lewat ‘like’ dan ‘amin.’ Hahahahaha…….
Mungkin sambil berharap pasangannya membaca apa yang diunggah, lalu mengerti. Lupa bahwa selain pasangannya, ada ribuan teman medsosnya yang ikut membaca.
Atau mungkin pasangannya malah tidak membaca sama sekali, karena akunnya keburu diblokir. 😀
Memahami ‘inner child of the past’ dari pasangan masing-masing dengan baik, adalah usaha luar biasa seumur hidup.
Jika berhasil, banyak sekali persoalan bisa diselesaikan. Sisi dewasa masing-masing akan menyelesaikan problem yang tersisa.
Tapi, kalau gagal memahami sisi kanak-kanak pasangan masing-masing, badai sudah menunggu di ambang pintu.
Jadi, tidak ada jalan lain: mari mencoba memahami ‘inner child of the past’ dari pasangan hidup, dan saling membantu menyelesaikan persoalan.
Menerimanya dengan cara kanak-kanak, yang mudah memaafkan, punya rasa setiakawan, dan selalu bisa menemukan kegembiraan bersama.
Gampang? Tidak.
Bisakah? Tentu.
(Ada bacaan bagus soal itu: YOUR INNER CHILD OF THE PAST karya W. Hugh Missildine. Tidak tahu masih dijual atau tidak…)
Itu saja.