The Power of Gus Dur

gusdur
Foto: alif.id

Cerita tentang Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak pernah habis. Dari humornya hingga beragam keistimewaan yang melingkupinya. Namun, satu yang menarik adalah kekuatannya bertahan dari sakit.

“Penyakit Gus Dur banyak. Namun, yang menjadi misteri, bagaimana beliau bertahan lama dari serangan beragam penyakit.” Ungkap orang dekatnya.

Tahun 2005 Gus Dur sudah harus melakukan cuci darah. Saat itu, setiap Minggu, cuci darah dilakukan sebanyak tiga kali demi mendukung fungsi ginjalnya.

Pada Juli 2009, Gus Dur mengalami penyakit alodonia. Sakit syaraf yang menyebabkan nyeri di seluruh badannya.

Pada 25 Desember 2009, Gus Dur kembali menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah sebelumnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Jombang.

Di Jombang Gus Dur sempat berziarah ke makam sejumlah tokoh NU. Di sana gula darah Gus Dur turun drastis. Presiden RI keempat ini akhirnya wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB.

Tentu saja, yang menyertai kepergian cucu pendiri NU itu adalah tangis dari jutaan pengagumnya. Terbukti hingga kini ribuan peziarah selalu melawat ke makamnya. Ramai tak ada jeda.

Bisa dikatakan 24 jam tetap ramai. Pernah, saya mampir ke makamnya pada pukul 03.00 dini hari. Suasana jalan menuju ke pondok masih ramai. Masih ada para pedagang yang berjualan.

Sebelumnya, mata saya bersitubruk dengan beberapa bus yang baru saja menurunkan puluhan peziarah. Parkiran penuh. Saat kaki memasuki komplek pemakaman, suara tahlil mengalun hidmat.

Ratusan orang takzim berdoa dan berzikir. Keramaiannya, mirip dengan makam-makam Wali Songo. Menghidupi ekonomi lokal juga asa spiritual.

Kembali ke urusan rahasia kekuatan Gus Dur. Memang, sakitnya merentang sejak lama. Di mulai tahun 1985, Beliau mengalami gangguan mata. Yang diikuti beberapa keluhan lainnya.

Saat itu, kesehatannya mulai meredup setelah pemeriksaan dokter, diketahui glaukoma mulai membekapnya. Tindakan medis pun dilakukan untuk menyelamatkan penglihatannya.

Sayangnya, mata kirinya tak bisa diselamatkan. Konon, karena urat syarafnya sudah terlanjur rusak. Mata kanan Gus Dur masih bisa diselamatkan. Tentu saja, harus ada pemeriksaan rutin.

Namun, hal itu tak mengurangi sepak terjangnya sebagai pejuang kemanusiaan dan keberagaman. Tetap berkarya untuk umat dan bangsa. Bahkan, kondisi itu tak menghalangi Gus Dur untuk rutin menulis artikel di media massa.

Hal ini dilakoni, karena itulah salah satu pokok pendapatannya. “Hasil menulis artikel selalu diberikan kepada Ibu Sinta. Semuanya.” Ungkap teman itu.

Acap kali pengasuh media pun telat mengirim honor menulisnya. Jangan kaget, Gus Dur pun tak segan untuk mengingatkan. “Pasti dikejar itu.” Tambah teman itu.

Selain menulis, Gus Dur juga banyak berbicara di berbagai forum seminar juga ceramah. Pasti, semua itu juga diserahkan ke ibu Sinta untuk menyambung hidup keluarga.

Bahkan, dulu untuk menambah pemasukan, Ibu Sinta dan Gus Dur memilih berdagang. Mereka sempat berjualan es lilin. Juga berjualan kacang kulit yang telah disangrai dalam pasir panas.

Ibu Sinta tentu Bukan Perempuan Biasa dinamika hidup dengan Gus Dur mungkin telah membuatnya paham dan seirama. Bahkan, dulu untuk menaklukkan hatinya, Ibu Sinta telah membuat Gus Dur harus berjuang sekuat tenaga.

Sinta Nuriyah muda pernah menjadi murid Gus Dur di Madrasah mu’allimat, Jombang tahun 1960-an. kerja keras Gus Dur mendapatkan Sinta, mengajarkan bahwa sebagai manusia biasa cinta butuh diperjuangkan.

Sayang, harapan itu bertepuk sebelah tangan. Gadis muda ini berani menolak pinangan dari mantan gurunya.

Tak menyerah Gus Dur mengulangi proses itu. Bahkan menulis surat berisi lamaran. Sinta muda menjawab diplomatis, “Jodoh itu seperti hidup dan mati, cuma Tuhan yang tahu. Biarlah ia mengalir seperti air.”

Takdir dan sejarah kemudian mencatat, keduanya menikah. Lantas melalui liku kehidupannya. Dengan kemandirian dan sikap yang kuat.

Dalam perkembangannya, Gus Dur menjadi pribadi yang besar. Dengan kapasitas keberpihakan dan keilmuannya. Beliau menjadi tokoh bangsa.

Hemat saya, hal itu tentu mengubah ekonomi keluarganya. “Loh bukankah dalam kapasitasnya, tentu saja banyak yang memberi bantuan?” Tanya saya kepada teman itu pendek. Teman itu mengganggu.

Namun, jawabannya membuat saya tercengang. “Uang pemberian orang tak pernah dibawa ke rumah.” jawabnya.

Jadi, uang yang diberikan ke ibu Sinta hanya dari jerih payahnya sendiri. Sepertinya, Gus Dur ingin memastikan semua uang yang diberikan kepada keluarganya, jelas dari keringatnya, jelas asalnya.

“Lantas kemana uang pemberian itu?” tanya saya mengejar.

“Selalu diberikan kepada orang lain yang datang ke Gus Dur.” Jawabnya.

Tentu saja, yang datang ke Gus Dur tak hanya orang yang berpunya. Yang punya banyak masalah juga datang. Yang ingin bantuan juga datang. Yang berkeluh kesah juga datang.

Dipastikan, Gus Dur tahu, yang datang juga butuh dibantu. Tak sekedar saran. Dukungan sepenuh hati. Bantuan material juga diberikan.

“Menurut saya itulah amalan yang membuat Gus Dur dicintai penghuni langit dan bumi.” Tegas teman tadi. Gus Dur Istiqomah melakoni peran kehidupannya.

Hal ini mengajarkan kepada kita, untuk taat membedakan mana ruang privat dan publik. Serta tidak mencampuradukkan keduanya.