Kiai itu boleh jadi adalah warga negara paling malang di negeri ini. Tidak seperti warga negara yang lain, kiai tidak dapat secara penuh mempergunakan hak asasinya. Orang seenaknya saja “mengatur” dan membatas-batasi hak asasi kiai.
Ada kiai berpuisi, orang bilang, “Kiai kok berpuisi! (Memangnya berpuisi itu haknya para penyair dan sastrawan saja?).
Ada kiai menjual ayamnya sendiri, orang bilang,”Kiai kok jualan ayam!” (Memangnya dagang ayam itu haknya pedagang dan bakul saja?).
Ada kiai jajan di warung, orang bilang, “Kiai kok makan di warung!” (Memangnya jajan di warung itu cuma haknya sopir dan santri saja?). Ada kiai berpolitik, orang bilang,
“Kiai kok berpolitik” (Memangnya berpolitik itu haknya politikus saja?).
Ada kiai naik mobil, orang pun bilang, “Kiai kok naik mobil” (Memangnya yang boleh naik mobil itu hanya orang kaya dan pejabat saja?). Ada kiai diwawancarai wartawan dan bikin pernyataan, orang pun bilang, “Kiai kok macam-macam bikin pernyataan segala!” (Memangnya bikin pernyataan itu hanya haknya para cendekiawan dan menteri saja?).
Demikian seterusnya; sampai-sampai, ketika kiai berdoa dan yang beristikharah pun ada yang bilang, “Kiai kok menggunakan doa dan Istikharah untuk kepentingannya!” (Memangnya doa dan Istilkharah hanya hak dan untuk kepentingan orang yang
bukan kiai saja?).
Sudah begitu, jika kiai–terutama kiai daerah-akan berdakwah masih saja dipersulit: yang harus izinlah, yang mesti pakai SIM-lah, harus ada rekomendasi Depag-lah, dan seterusnya, dan seterusnya. Pendek kata, kiai itu termasuk warga negara yang unik: dihormati tapi sekaligus mazhlum (lara kabeh).
Memang kiai itu suatu gelar – tapi berbeda dengan gelar-gelar akademis seperti Drs., Dr., Ir., dan sebagainya yang diberikan oleh masyarakat. Namun masyarakat memberi gelar itu tidak begitu saja. Bersamaan dengan pemberian itu mereka juga menuntut dan “mengatur” perilaku orang yang mau diberi gelar kiai tersebut.
Dan biasanya, sebagai konsekuensi mau digelari kiai, seseorang pun mau tidak mau harus manut-manut saja “diatur” orang.
Apabila seseorang mau diberi gelar kiai (artinya disebut-sebut kiai ya glendem saja, atau malah bangga) tapi tidak mau “diatur”, maka dia harus menerima risiko dilecehkan atau paling tidak diolok-olok.
Apabila pemberian gelar kiai itu didasarkan atas standar nilai tertentu dan “aturan” yang dikenakan pun merujuk pada standar tersebut, saya kira tidak ada masalah.
Yang runyam adalah apabila pemberian itu ngawur atau standar nilai yang mendasarinya tidak lagi jelas. Atau “aturan” yang kemudian dikenakan yang justru ngawur atau tidak merujuk kepada standar.
Jika gelar akademis yang sudah berstandar secara jelas saja masih sering dipalsukan atau di-aspal-kan atau kemudian dianggap tidak pas (sesuai “aturan” yang merujuk standarnya), maka bagaimana pula dengan gelar yang standarnya tak jelas?
Ketidakjelasan standar membawa akibat banyak orang meng-kiai-kiai-kan secara ngawur nimbrung, atau mereka yang diri, atau mereka yang asal, asal menggelari orang dengan kiai.
Kedua-duanya akan-dan sudah terbukti-menimbulkan kerancuan bahkan kesalahpahaman yang berlarut-larut.
(Contoh kecil tapi konkret: ada orang yang secara meluas – bahkan secara resmi – dipahami sebagai kiai, tiba-tiba bersu’uzhan dan melecehkan mereka yang kepingin meniru cara Nabi berpakaian; sementara terhadap mereka yang setengah telanjang atau hampir telanjang, dia diam saja).
“Aturan” yang dikenakan masyarakat untuk mereka yang sudah terlanjur digelari kiai disadari atau tidak, tidak akan merupakan kezhaliman massal terhadap mereka.
Akhir-akhir ini beberapa orang yang
digelari kiai oleh masyarakat, kembali menjadi berita dan menjadi bahan pembicaraan secara meluas. Seperti biasa, orang-orang pun kemudian bereaksi: berkomentar, menduga-duga, menganalisis, mengulas, menyimpulkan, dan seterusnya.
Yang saya ingin tahu, apakah pihak-pihak yang diramaikan dan terutama yang meramaikan semua itu sempat menyadari dan menoleh pada standar nilai kekiaian yang saya obrolkan di atas.
Atau tetap saja mereka hanya larut dalam opini berdasar atau ngawur yang sudah terbentuk selama ini.
***
Oleh : K.H.A. Mustofa Bisri (Ulama dan Budayawan)
Sumber : Wawasan, 27 September 1994