KIAI DAN ULAMA

Foto : Google.com

Pada masa itu mendirikan perkumpulan atau organisasi perjuangan memang sedang menjadi-istilah orang sekarang-tren. Kalangan pesantren pun tak mau ketinggalan. Sejumlah kiai, umumnya dari Jawa, pun berkumpul; ingin mewadahi jama’ah mereka yang tersebar di seantero nusantara dalam sebuah perkumpulan, organisasi, atau menurut istilah mereka jam’iyah. Dengan di-tandzim, ditata, dalam organisasi, diharapkan menjadi pengabdian mereka kepada masyarakat menjadi lebih mangkus dan sangkil.

Seperti diketahui, kalangan pesantren sangat akrab dengan yang berbau Arab. Ini tidak aneh, karena hampir semua pelajaran agama di pesantren menggunakan Bahasa Arab. Bahkan tulisan yang mereka gunakan untuk memaknai kitab-kitab mereka-biasanya dengan bahasa daerah memakai huruf Arab. Tulisan Arab untuk menuliskan bahasa non-Arab ini kemudian dikenal dengan tulisan Pegon. Bahkan dulu, di beberapa Pesantren, lagu wajib-termasuk Indonesia Raya- pun mereka Arabkan. Maka ketika mereka akan mendirikan perkumpulan para kiai, mereka memilih nama Nahdlatoel ‘Oelama- Kebangkitan Para Kiai.

Sebenarnya-wallahu a’lam-kata “Oelama/’ulama tidak tepat benar untuk menerjemahkan kata para kiai. Saya menduga, kata itu dipilih karena mereka tidak menemukan padanan kata kiai dalam bahasa Arab yang lebih dekat daripada ‘alim atau bentuk jamaahnya ulama. Dalam bahasa Arab kata ‘alim/’ulama mempunyai arti orang pandai, orang berpengalaman, atau orang yang mempunyai ilmu. Secara bahasa, orang seperti Isaac Newton, Albert Einstein juga Karl Heincreich Marx, bisa digolongkan ulama.

Menurut istilah di kalangan Pesantren, pengertian ‘alim/’ulama selalu dikaitkan dengan orang-orang yang disebut dalam sabda Nabi, “Al- ‘Ulama waratsatul Anbiyaa.” Para ahli waris nabi-nabi. Maka, jika para nabi mengembangkan misi risalah atau nubuwwah, orang baru bisa digolongkan ulama bila minimal melaksanakan satu dari kedua misi itu.

Tapi kiai, setidaknya menurut saya, adalah istilah budaya (bermula dari Jawa). Orang Jawa biasanya menyebut kiai siapa atau apa saja yang mereka puja dan mereka hormati. Kiai Sabuk Inten, Kiai Nagasastra, Kiai Plered, misalnya adalah senjata; Kiai Slamet ialah kerbau. Begitulah orang yang disebut kiai semula adalah mereka yang dipuja dan dihormati masyarakat, karena ilmunya, juga jasa dan rasa kasih sayang mereka terhadap masyarakat.

Dulu kiai-yang umumnya tinggal di desa-benar-benar kawan masyarakatnya, menjadi tumpuan, tempat bertanya dan meminta pertolongan. Sebaliknya, kiai yang dipuja dan dihormati masyarakat itu memang mencintai masyarakatnya, dan seperti mewakafkan dirinya untuk mereka. Kiai yang termasuk golongan mereka yang “yanzhuruuma ilal ummah bi’ainir rahmah, melihat umat dengan mata kasih sayang. Memberikan pelajaran kepada yang bodoh, membantu yang lemah, menghibur yang menderita, dan seterusnya. Kompleks pesantren-yang tempo doeloe umumnya 100 persen dibangun oleh kiai adalah sebagai bukti perjuangan dan pengabdian kiai kepada masyarakat.

Kemudian kata Arab ‘ulama diserap ke dalam bahasa kita dan “berubah kelamin”, atau mengalami distorsi makna; ulama bukan lagi bentuk jamaah (lihat KBBI entri ulama); sehingga bisa saja Anda mengatakan “seorang ulama” dan tak salah mengatakan “para ulama”. Istilah ulama-atau dan kyai pun semakin berkembang pengertiannya dengan timbulnya ulama atau kiai yang tidak hanya “produk masyarakat”. Ada ulama/kiai-kata Arif Budiman-produk pemerintah, produk pers, dan siapa tahu produk sendiri.

Oleh kemajuan ilmu keduniaan, dunia semakin menggiurkan. Manusia sang khalifah Allah pun, dari ingin menguasai dunia, sudah semakin tergila-gila dan dikuasai oleh dunia. Kekuatan, kekuasaan, kemampuan, dan kekayaan tak lagi bersumber dan diandalkan dari diri sang khalifah, tetapi dari dunia yang akan mereka kuasai. Agama, yang selama ini dianggap sebagai sumber dan penjaga kehidupan manusia, menjadi sekedar sektor. Mereka yang selama ini disebut ulama atau kiai, dengan sendirinya juga mengalami perubahan.

Sebagaimana modernisasi menuntut spesialisasi di bidang kedokteran (kesehatan jasmani), agaknya demikian pula dalam bidang kesehatan rohani (agama), meski tidak sama persis. Kini ada kiai spesialisasinya urusan ritual saja, ada yang urusan sosial. Bahkan lebih dari itu, kita kini mendengar macam-macam sebutan kiai: kiai syariat, Kiai hakikat, Kiai pemerintah, kiai politik, kiai TV, kiai glamour, kiai mbeling, kiai demo, dan sebagainya.

Belakangan muncul pula sebutan kiai khos. Apa pula ini? Khos dalam bahasa Arab berarti khusus, kebalikan dari ‘aam yang berarti umum. Istilah ini, seperti banyak istilah lainnya, penciptanya siapa lagi kalau bukan pers. Saya kira tidak ada lagi tidak ada-atau kalau ada sedikit sekali-kaitannya dengan peristilahan di kalangan ulama Sufi. Di kalangan para kiai pesantren pun tak dikenal istilah kiai khos. Yang ada hanya istilah kiai sepuh yang dari segi umur, ilmu, dan terutama akhlaknya di atas rata-rata.

Biasanya yang disebut kiai sepuh ini di samping “keintiman”-nya dengan Allah, mempunyai ikatan batin yang kuat dengan umatnya. Karena kebersihan hatinya, dipercayai tidak mudah tergoda atau terkecoh oleh dunia maupun ahli dunia. Biasanya mereka jadi tumpuan dan tempat mengadu bahkan oleh kiai-kiai lain, terutama mereka yang tidak mampu menjawab keluhan dan pertanyaan umat. Sayang, contoh yang bisa saya Kemukakan rata-rata sudah tiada, misalnya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Arwani Kudus, Kiai Abdullah salam Kajen Pati dan Kiai Dimyati Banten, yang baru-baru ini berpulang ke Rahmatullah. Mudah-mudahan hanya saya yang tidak mampu mencari contoh yang lain, dan kiai semacam itu masih banyak di negeri kita ini.

Oleh: K.H.A. Mustofa Bisri (Ulama dan Budayawan)

Sumber: Tempo, 23 November 2003.