Kadang-kadang kita merasakan semacam ironi ketika melihat sebagian dari orang-orang beriman justru makin surut rasa kasih-sayangnya. Kurang berperikemanusiaan. Atau senang berlaku brutal.
Mereka ingin masuk surga dengan cara mencaci maki dan membenci orang beriman lainnya hanya karena berbeda pendapat. Berbeda dalam memahami kitab suci, seolah-olah merekalah yang paling memahami makna kitab suci.
Mereka percaya, merekalah satu-satunya golongan yang paling sah dan benar dalam memahami kitab suci dan hukum agama. Serta tidak memberi ruang sedikit pun untuk kemungkinan pendapat orang lain adalah benar.
Mereka percaya hidayah dan rahmat Allah sudah final dan hanya berlaku bagi kelompok mereka sendiri.
Ini juga berarti mereka yakin bahwa pemahaman mereka sudah setara dengan pemahaman Nabi sehingga pemahaman orang lain yang berbeda dipandang pasti sesaat.
Sungguh mengherankan sekaligus menyedihkan, ketika ajarannya dimaksudkan untuk memperbaiki akhlak justru menciptakan orang-orang yang mau menang sendiri. Senang menghina dan membenci orang lain. Merasa diri sebagai orang yang paling benar. Paling pasti masuk surga.
Dan merasa telah beramal mulia dengan menciptakan kesengsaraan dan sakit hati sekaligus rasa dendam bagi orang lain dengan cara membunuh atau menyakiti sesama manusia.
Mereka merasa sudah paling benar dalam menjalankan dakwah dan syiar ajaran sebagaimana yang mereka pahami meskipun dengan cara dusta, fitnah dan tipu daya. Sembari yakin Allah yang Maha Adil pasti meridhai cara-cara seperti itu.
Betapa aneh dan menyedihkan, ketika orang yang beriman kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ingin masuk surga dengan menciptakan neraka di dunia sembari berharap atau bahkan yakin orang-orang yang dihina-hina dan disesatkan atau bahkan dibunuhnya akan dimasukkan ke dalam neraka.
Seakan-akan mereka mengatakan jika engkau mengikuti pemahaman kami, meski engkau mencaci-maki, menghina, berkata kasar, menyakiti hati orang lain, korupsi, berbuat tidak adil, menipu, memfitnah, merampas hak hidup orang lain. Bahkan bunuh diri sekalipun. Engkau dijamin pasti masuk surga.
Hal paling sulit memang mengendalikan ego yang selalu merasa bahwa diri sendiri dan kelompok kitalah yang paling benar dan mulia. Sumber pertengkaran sebagian besar memang berasal dari klaim seperti itu.
Entah sadar atau tidak bahwa klaim aku/kami lebih baik daripada engkau/kalian, juga pernah diucapkan oleh pembangkan Tuhan di masa Azali: Ana Khoirun minhu.”
Karena merasa lebih baik, kita tidak ingin orang lain menjadi lebih baik dari kita. Khawatir kebaikan menurut yang kita pahami ternyata keliru sehingga kita enggan mendengarkan pendapat dan pemahaman yang lain. Padahal boleh jadi menunjukkan sisi kekeliruan kita.
Sebagai manusia yang tak pernah sempurna kebaikan dirinya. Kita lalu hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar. Kita hanya mau mendengar diri kita sendiri, dan kita merasa hanya kitalah yang paling disayang dan dibenarkan Tuhan, lalu doa-doa kita menjadi bengis. kita mendoakan orang lain celaka, dilaknat dan masuk neraka.
Dan akhirnya karena kita tidak bisa memaksa Tuhan dan mengabulkan doa, kita bertindak dengan keyakinan dapat memastikan orang lain masuk neraka dengan cara membunuh, atau setidaknya, menyesat-nyesatkan dan mencaci-maki mereka demi menunjukkan kepada orang lain dan keyakinan diri sendiri bahwa pemahaman dirinyalah yang paling benar.
Sungguh aneh memang mereka menjadi mabuk agama dalam artian terlalu percaya bahwa dirinya sendiri yang paling suci sehingga lupa bawa hanya Nabi yang maksum yang dijamin masuk surga.
Bagaimanapun, bagi kita yang masih memiliki hati nurani, masih percaya bahwa Allah selalu memberi kesempatan orang-orang untuk berbuat baik. Untuk kembali kepada jalan-Nya.
Dan sebelum Dia sendiri yang mengambil nyawanya, kita tidak boleh menyerah untuk berusaha memperbaiki jiwa (tazkiatun nafs), berbuat kebaikan (fastabiqul Khairat) dan merawat kasih-sayang. Walaupun kejahatan dan kekejaman lalu-lalang di hadapan kita.
Di tengah-tengah ketidakpastian apakah kita akan benar-benar selamat di akhirat atau tidak, kita semestinya selalu bermujahadah dan berharap Allah berkenan memperbaiki akhlak kita.
Membersihkan jiwa-jiwa (nafs) kita, menolong kita melahirkan dalam diri kita jiwa-jiwa yang tenang, nafs al-muthmainah. Sebab jiwa-jiwa yang tenang adalah jiwa yang diridhai-Nya.
Sehingga memunculkan sikap kasih-sayang, menghormati sesama manusia, menghormati keadilan, kejujuran dan bersikap rendah hati sebagai hamba yang tidak pernah sempurna.
Dan jiwa-jiwa yang muthmainnah inilah yang diseru untuk kembali ke surga-Nya dengan ridho dan diridhoi.
Wa Allahu a’lam.