PENDIDIKAN BUDAYA DI SEKOLAH TIDAK PERNAH MENINGKAT

Foto : Google.com

Hari pendidikan nasional (hardiknas) yang dirayakan setiap tanggal 2 mei, kerap dikaitkan dengan berbagai budaya dan kebudayaan daerah khususnya pakaian adat menghiasi kepala sampai ujung kaki. Upacara peringatan yang dilakukan tidak lepas dari tema budaya yang harus selalu ditonjolkan dengan kemewahan pakaian adat oleh para pejabat-pejabat tinggi.

Kemewahan perayaan hardiknas tidak terlepas dari peran budaya daerah dimana budaya selalu memiliki peran dan fungsi spesial di setiap momen penting dalam kehidupan. Tapi sangat disayangkan nasib budaya dalam pendidikan tidak pernah diberikan tempat dan kesempatan spesial sebagaimana mestinya, mengingat bahwa pendidikan budaya ditataran pendidikan formal hanya selalu menjadi menu hidangan pelengkap dalam keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan.

Kebudayaan daerah menjadi salah satu aset kultural yang berharga bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan daerah merupakan refleksi dari identitas dan karakter setiap daerah di Indonesia. Keanekaragaman inilah yang membentuk kekayaan kultural bangsa. Dengan mempertahankan dan melestarikan kebudayaan daerah, kita juga menjaga akar jati diri bangsa yang sangat berharga. Hal ini juga berlaku pada Kebudayaan daerah Mandar (Sulawesi Barat) yang merupakan suatu kekayaan abadi. Semakin digali kekayaan ini tidak akan berkurang tetapi sebaliknya, terus akan tumbuh dan melimpah.

Kekayaan budaya Mandar telah menjadi pusaka kehidupan masyarakat mandar di segala sisi kehidupan termasuk pendidikan, baik di Sekolah Dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Sebagai salah satu upaya menjaga kekayaan dan pusaka daerah ini, lembaga pendidikan memiliki peran krusial. Sekolah, sebagai institusi pendidikan utama, harus mampu membentuk dan membimbing para siswa untuk mengenali, menghargai dan melestarikan kebudayaan daerah (Kurniawan, 2023).

Perlu diketahui ada perbedaan jelas antara ilmu seni dan budaya, dimana kedua cabang ilmu ini memiliki peran serta fungsi dan tugas yang sangat penting. Sekalipun ada beberapa kaitan antara seni dan budaya tapi perbedaan antara keduanya sangat besar.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memuat 10 objek budaya yang meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa dan ritus. Kebudayaan daerah meliputi 10 objek dimana seni merupakan salah satu objeknya. Seni tidak sama dengan budaya namun seni merupakan bagian kecil dari kebudayaan.

Dalam UU pemajuan kebudayaan tersebut seni diartikan sebagai ekspresi individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan budaya maupun berbasis kreativitas penciptaan yang meliputi seni pertunjukan dan sastra. Dalam penjelasan ini dapat kita pahami bahwa budaya merupakan ilmu yang sangat luas dimana seni merupakan bagian kecilnya. Namun dalam pendidikan sekolah, budaya dianggap sebagai sesuatu yang kecil semacam anak bawang yang diikutkan dalam ilmu kesenian.

Terdapat kerancuan dan ketidakpahaman tentang budaya dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak disadari telah mencederai beberapa aturan luhur dan aturan terkait UU kebudayaan. Tidak terdapat pelestarian dan kajian kebudayaan dalam dunia pendidikan karena kebudayaan terbatasi oleh kesenian. Hal ini telah menjadi kesalahan berpikir dalam waktu yang sangat lama khususnya di daerah sulawesi barat. Jika kita membicarakan hal-hal yang menyangkut pendidikan dan kebudayaan, maka hal yang tepat dilakukan adalah mendirikan ilmu budaya daerah sebagai ilmu tunggal yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi.

Bahkan saya sangat mengharapkan kepada pemangku kebijakan untuk segera memperhatikan dan membahas rancangan ini sebagai suatu aturan wajib sehingga bisa membangun sebuah intitusi pendidikan khusus kebudayaan yakni sekolah kebudayaan untuk tingkat menengah serta fakultas kebudayaan untuk perguruan tinggi di sulawesi barat. Hal ini sejalan dengan cita-cita negara tentang kurikulum pendidikan serta UU pemajuan kebudayaan.

Oleh: Fauzan Azima (Penulis adalah aktivis pemuda dan pemerhati budaya menetap di Majene)