Awalnya Aidit tidak hebat-hebat amat. Sebelum bahkan beberapa tahun setelah kemerdekan pun namanya jarang terdengar dikancah perpolitikan tanah air. Cuma sesekali saja muncul ke permukaan.
Seperti ketika ia dikabarkan ikut terlibat aksi heroik bersama Wikana dan Sukarni menculik Soekarno-Hatta ke Rangasdengklok.
Mirip para politisi lainnya dimana pun, Aidit memiliki ambisi besar. Ambisi untuk memperoleh kekuasaan. Dan sebagai politisi ambisi itu sah-sah saja.
Pun ketika ingin memuluskan ambisinya ia menempuh beragam cara. Pengalamannya aktif dibeberapa organisasi menempanya untuk banyak belajar. Belajar dan terus belajar.
Akhirnya keuletan itu menuai hasil. Ia sukses menemukan caranya.
Orang mafhum kalau setrum kekuasaan waktu itu adalah Bung Karno. Punya ambisi berkuasa namun jauh dari setrum sama juga bohong. Merapat ke Bung Karno adalah cara taktis yang dilakukan Aidit.
Tanggal 1 Oktober 1945, muncul kasus dokumen testamen Soekarno-Hatta.
Testamen ini disebut-sebut dibuat untuk mewariskan kendali kekuasaan negara kepada Tan Malaka bila terjadi hal yang tak diinginkan pada diri bapak proklamator.
Sebenarnya dokumen testamen yang asli berjudul: “Amanat Kami”.
Isi dokumen itu mencantumkan empat nama: Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, Syahrir dan Wongsonegoro sebagai pewaris kendali kekuasaan secara kolektif.
Dokumen itu juga ditandatangani Soekarno-Hatta.
Tapi kemudian muncul versi lain. Versi “pewaris tunggal”. Versi itu cuma menyebut Tan Malaka di dalamnya. Versi ini banyak beredar. Alhasil murka-lah Soekarno.
Aidit kemudian berhasil menemukan dokumen asli versi pewaris tunggal itu dan menyerahkannya ke Soekarno. Soekarno spontan merobeknya.
Entah siapa yang membuat, apa maksudnya dan kenapa bisa berada di tangan Aidit? Tak ada yang tahu.
Sebuah teka-teki.
Namun dengan adanya kasus itu hubungan Soekarno dan Aidit secara pribadi menjadi akrab.
Sikap yang sama dari Aidit juga pernah dirasakan suami S.K Trimurti, Sayuti Melik. Sayuti Melik adalah pengetik naskah proklamasi kemerdekaan RI.
Menurutnya, Aidit pernah mengambil naskah asli teks Proklamasi dari tangannya dan menyimpangnya beberapa lama. Nanti setelah dibujuk dengan berbagai cara barulah naskah itu dikembalikan.
Entah apa maksudnya? Tak ada yang tahu.
Juga teka-teki .
***
Aidit lahir tanggal 30 Juni 1923 di Pulau Belitung.
Pada tahun 1939, ia masuk Gerindo pimpinan Amir Syarifuddin dan Adenan Kapau Gani. Sejak itu ia mulai kenal organisasi dan membawanya bergabung dengan kelompok Pemuda Menteng.
Oleh teman-temannya di Kelompok Menteng, Aidit diminta mengubah namanya dari Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit. Alasannya nama Ahmad terlalu pasaran.
Aidid oke-oke saja. Kedengarannya lebih nasionalis. Keren lagi.
Jadilah namanya berubah dari Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit. Disingkat D.N Aidit.
Konon bapaknya, Abdullah Aidit kurang merestui perubahan nama itu. Bukan karena selamatan potong kambingnya. Tapi semata karena persoalan tertib administrasi.
Nama Ahmad sudah tercetak pada slip gajinya sebagai pegawai dinas kehutanan. Abdullah kuatirnya nanti menimbulkan masalah dengan munculnya nama baru itu.
Lepas proklamasi, Aidit ditangkap Belanda dan dipenjarakan di salah satu pulau terpencil dekat Pulau Bidadari. Pulau Onrust, namanya. Berada di wilayah gugusan Kepulauan Seribu.
Selama dalam penjara otomatis Aidit tak menorehkan namanya dalam pentas pergerakan bersenjata maupun peristiwa bersejarah seperti yang dilakukan oleh teman-temannya diluar sana.
Nanti pada akhir tahun 1947 Aidit baru keluar dari penjara. Keluar penjara ia tak menetap di Jakarta melainkan langsung ke Yogyakarta. Mengikuti pergerakan pemerintahan.
Saat meletus Peristiwa Madiun 1948, ia melarikan diri kembali ke Jakarta.
Berbagai cerita beredar mengenai pelariannya.
Ada yang bilang ia melarikan diri ke Sumatera. Ada juga yang bilang ke Vietnam.
Padahal ia hanya bersembunyi di Jakarta dengan cara berpindah-pindah rumah agar tidak tertangkap gara-gara Peristiwa Madiun itu.
Ketika suasana anti PKI akibat Peristiwa Madiun 1948 mereda, Aidit muncul mengisi kekosongan kepemimpinan partai. Ia mengambil alih partai dari para seniornya Alimin dan Tang Lie Djie yang mulai ogah-ogahan mengurus partai.
Tahun 1952 bersama duet Nyoto dan Nyono, Aidit berhasil merapat masuk ke dalam jajaran pimpinan pusat.
Mereka bahu-membahu memperbaiki struktur partai dan mempersatukan seluruh komponennya hingga menjadi kekuatan yang solid.
Sayuti Melik menuturkan, “Sebelum mengambil alih kepemimpinan PKI, Aidit pernah menemuinya pada tahun 1951. Ia mengajaknya bergabung untuk memperbaiki kondisi partai yang berantakan setelah peristiwa Madiun 1948.
Sayuti menolak.
Alasannya..
“Aidit sesungguhnya bukanlah orang yang betul-betul tertarik pada komunisme. Ia bukanlah ideolog sejati. Ia cuma seorang opurtunis yang mengejar kekuasaan dan menjadikan partai sebagai media penyalur ambisinya.”
Wah…!
Penilaian serupa terhadap Aidit juga pernah disampaikan oleh Professor Durgov dari Uni Sovyet lewat Harry Tjan Silalahi. Tapi yang ini lebih wah lagi. Katanya:
“Pengetahuan Aidit tentang Marxisme-Komunisme, baru setingkat anak SMA. Apalagi ketika ia menarik dan mengendalikan rakyat. Masih kayak anak remaja.”
Terlepas dari bagaimana tingkat ‘kemampuan’ ideologinya waktu itu atau dibelakang hari. Kenyataannya Aidit berhasil menapak jalan kekuasaan setelah membawa PKI menjadi 4 besar dalam PEMILU 1955. Posisinya tepat dibawah PNI, Masyumi dan NU.
Aidit tak bisa diremehkan lagi.
Ia terbukti cerdas. Cerdas dalam meramu kondisi kekinian masyarakat saat itu menjadi jargon dan tema-tema kampanye-nya.
Tema keadilan dan persamaan yang diusung PKI menjadi sesuatu yang memikat.
Daya pikatnya sangat menyentuh kebanyakan rakyat yang ketika itu sudah kenyang penderitaan dan kemiskinan.
Kenyang lahir-batin yang dirasa ketika dijajah Belanda, pendudukan Jepang. Dan lebih menyakitkan adalah perlakuan buruk kalangan penguasa yang dinilai tak ada bedanya dengan penjajahan bangsa asing.
Pada kasus ini banyak yang sepakat D.N Aidit adalah Politisi ulung. Ia mampu membuktikan dirinya sukses mengibarkan bendera merah ke seluruh pelosok negeri.
Sayangnya, hingga ajal menjemput Aidit belum sempat menjawab teka-teki yang ia mainkan dulu.
(Sumber: Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara dan Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966).