Kritik Itu Harus Sopan

Gambar : Rumahfilsafat.com

Dalam sebuah wawancara disebuah acara reality show di salah satu stasiun TV internasional (BBC world), sepasang turis Amerika yang berkunjung ke Hongkong, mengatakan bahwa aksi protes yang mereka lihat dijalanan kota Hongkong adalah realitas demokrasi yang jarang mereka alami secara langsung dan bagi mereka itu adalah sebuah tindakan dramatik yang menarik sekali.

Bagi mereka yang hidup di negara yang telah lebih dahulu menerapkan demokrasi, aksi protes adalah bagian dari tindakan menyatakan ungkapan terkenal tentang demokrasi. Bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).

Dari contoh ini kita bisa melihat bahwa habitat asli demokrasi adalah bahwa pernyataan kehendak rakyat secara langsung adalah hak yang sesungguhnya menjadi fundasi utama dari demokrasi.

Kritik dan aksi protes adalah fundasi yang menjelaskan bagaimana rakyat berdiri sebagai bagian yang utama dan alasan mengapa demokrasi dipilih sebagai cara kita membentuk dan menyelenggarakan negara. Kritik dan aksi protes adalah cara sah yang sesungguhnya memberi kesempatan bagi rakyat untuk mengevaluasi apakah tujuan bernegara telah dijalankan oleh pemerintah ataukah tidak. Apapun modelnya, kritik dan bahkan aksi protes harus dilihat sebagai cara rakyat bereaksi atas penyelenggaraan negara.

Di tengah situasi pandemik covid 19 (corona virus), publik dihentak oleh sebuah tindakan berani dari lembaga kemahasiswaan (BEM UI) yang tegas mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah The King Of Lips Service. Pernyataan ini sontak mendapat reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Tak tanggung tanggung pihak Universitas bahkan memanggil para pengurus BEM dan menegur.

Pada saat bersamaan, istana bukannya menangggapi isi penyataan tetapi malah membuka ruang baru dengan mempersoalkan cara kritik dilakukan. Yang disoal oleh istana dan diserukan agar diperdebatkan adalah bagaimanakah cara kritik itu dilakukan dengan dalih tatakrama dan sopan santun.

Adalah seorang pengamat politik yang berujar setengah sinis, mencoba mengingatkan kita bahwa, kritik tidak akan terjadi jika telah diberi pagar tatakrama dan soan santun. Disini, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar politisi dan pemangku kekuasaan di negara kita, lebih memilih mengadu rakyat dengan debat pada soal-soal yang diluar nalar tentang bernegara, ketimbang melihat kritik sebagai evaluasi atas kerja dan akitivitas pemerintahan. Bukankah menalar negara itu seharusnya dengan pendekatan hukum. Bukankah kita telah sepakat bahwa, hukum adalah cara kita menilai tindakan publik dalam bernegara? Dalam hukum, hal seperti etis dan moral bahkan agama terkonfirmasi sebagai cara kita terikat pada satu panduan yang sama dalam hidup bernegara.

Tak lama berselang, muncul kemudian penyataan tandingan dari mahasiwa juga yang mengungkapkan rasa terimakasih kepada Presiden Jokowi atas program-program pemerintahannya. Kemudian pula muncul pernyataan dukungan kepada Jokowi oleh pendukung setia sang presiden. Yang menarik adalah bahwa, pernyataan terima kasih tersebut terjadi sebagai reaksi atas tindakan berani BEM UI dan juga peryataan berani ketua umum salah satu OKP kemahasiswaan yang menilai Jokowi telah gagal dalam menjalankan amanat rakyat.

Bagi sebagian barangkali ini adalah titipan politik para politisi yang berkepentingan dengan kekuasaan dan lain-lain, tetapi bagi mahasiswa, mungkin juga ini adalah suatu sikap intelektual yang menilai bahwa pendekatan pembangunan yang digunakan oleh pemerintah dengan bertumpu pada peningkatan utang negara adalah jalan yang bisa membangkrutkan negara. Katakanlah bahwa misalkan utang dipakai untuk pembangunan, lalu aset apakah yang kita gadaikan lagi kepada pemodal agar kucuran hutang itu terealisasi.

Sangat sulit untuk membayangkan di masa yang akan datang bahwasahnya, kita akan menjual barang produksi kita kepada diri kita sendiri, mengingat asumsi aset yang digadai telah habis dan yang memberi jalan bagi utang adalah masuknya produk asing dan menguasai pasar domestik.

Sebagai suatu sikap intelektual oleh status yang melekat dalam dirinya, kritik para mahasiswa harus dilihat sebagai sebuah pernyataan evaluatif atas jalannya pemerintahan. Yang jadi soal semestinya adalah apakah benar Presiden Jokowi Itu The King Of Lips Service? Bukan, apakah etis memberi gambar demikian pada wajah presiden kita? Hal kedua inilah yang mengalihkan wacara kritis soal kinerja Presiden Jokowi, sebab kebanyakan rakyat masih terjebak dalam prespektif bahwa Presiden adalah simbol dan lambang negara.

Kemudian soal etika seperti tata krama dan sopan santun yang di katakan oleh Presiden Jokowi juga adalah hal yang sebenarnya adalah reaksi politik seorang politisi yang memakai pikiran rakyat agar menjauhkan kritik mahasiswa dari dirinya. Nyatanya, Utang kita memang sangat banyak dan utang tetaplah berbahaya dalam sudut pandang masa depan negara.

Mungkin saat utang diterima, kita akan sangat senang sebab pembangunan dapat terlaksana. Infrastruktur yang menjadi kebutuhan untuk memangkas kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia, terlihat dimana-mana sedang dibangun. Namun, untuk masa kedepan, potensi masalah kaibat hutang tetap akan jadi soal bagi kita. Dan inilah yang seharusnya di debat dalam ruang publik dan bukan soal etis tata krama dalam memberi kritik.

Para buzzer sangat mungkin mengakali potensi debat ke soal etis tata krama dan hal demikian memberi proteksi politik bagi pemerintahan yang di kritik. Saat kritik disoal pada hal demikian, maka berisiaplah akan masa depan demokrasi feodal.

Jakarta, 4 Juli 2021