BERDAMAI DENGAN ORANG YANG SALAH

Gambar : Google.com

Tak lagi terhitung muda. Seorang perempuan dengan privilage nyaris nol. Yang dia punya hanya harapan. Atau mungkin juga keberuntungan. Dia terbentuk dengan minus kepercayaan diri. Dari segi apapun. Belakang orang-orang menyebutnya insecurity.

Bukan tanpa alasan. Ia tumbuh dengan proses tempaan yang entah tak kunjung berkesudahan. Selama setahun ia berkurung dalam ruang gelap bahkan tanpa lampu dan mataharinya. Ia benci dengan kehidupan. Benci Hidupnya.

Ia tak ingin bertemu dengan siapa saja, keluarga, teman. Bahkan untuk menyebut kata itu saja baginya kurang nyaman. Ia menghapus semua sosial media miliknya. Ia nyaris mati suri.

Ia sadar bahwa hidupnya sedang tidak baik-baik saja. Kehilangan semuanya. Cinta. Pekerjaan. Keluarga. Bahkan diri sendiri.
Ia memutuskan keluar dari tempat yang menurutnya bisa membuka sedikit pikirannya yang runyam secara total. Ia sesakit, selelah dan sehancur itu.

Orang tua? Ia kehilangan sosok ibu jauh sebelum dewasa. Ayah? Baginya ayah adalah pahlawan.

Tapi sepertinya beberapa detail setiap hidup akan berubah seiring berjalannya waktu. Dan sialnya dia belum siap, untuk sampai pada fase itu, bahkan untuk menatap mata ayahnya saja ia tak berani.

Ia sadar bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Ia terus melangkah bukan karena ia bersemangat. Tapi Karena tidak ada pilihan lain.

Mati?

Tak terhitung lagi berapa kali ia berfikir untuk itu. Merasa tidak berguna. Tanpa harapan. Apa lagi solusinya selain mati? Tapi solusi itu tidak selalu menjadi satu-satunya jalan keluar.

Setelah setahun..

Dengan dorongan dari orang-orang tersisa yang peduli padanya. Ia berani keluar dari ruang gelap itu. Dengan luka yang masih sama. Ia mencoba menjahit menambal bolong-bolongnya. Mulai mencari alasan lain untuk tersenyum. Untuk menunjukkan kepantasan alasan untuk bertahan. Dan ia sangat bersyukur. Bahkan nyaris pulih.

Bahwa ada ayunan tangan yang sangat tulus di julur ke arahnya. Dia merasa memiliki rumahnya kembali.
Dia punya alasan untuk tertawa terbahak-bahak. Dia tak lagi bangun dengan dada yang terasa berlubang.

Iya. Dia menemukan rumahnya. Ia sangat bahagia. Sangat bahagia. Boleh di kata itu pertama kali dia merasa benar-benar di terima. Dia punya teman siang dan malam. Dia tidak lagi merasa sendiri.

Tapi kata apapun sepertinya tak akan bisa menggambarkan betapa bersyukur dan bahagianya dia menggenggam tangan itu.
Terlihat mereka sudah sama menerima masa lalu masing-masing. Sama-masa menerima latar belakang masing-masing. Menerima kekurangan masing-masing.

Ketika dia dalam keadaan paling menyedihkan ayunan tangan itu datang.. itulah mengapa nyaris tak ternilai bagaimana bahagianya dia.

Tapi ternyata bahagianya hanya semu. Damai yang dia rasa tiba-tiba berbalik menjadi racun. Dia kembali hancur. Ayunan tangan itu tidak benar-benar miliknya.

Tulus? Entahlah..

Yang jelas baginya sangat sulit untuk ikhlas. Terlepas dari salah atau benar. Dia hanya tidak mampu melepas.

Yang jelas dia sudah salah menilai. Pada akhirnya ia hancur sendiri. Nyatanya selama ini ia berdamai dengan orang yang salah.

Akhir dari serangkaian tawa yang sama-sama mereka bangun, sama jahatnya seperti luka yang pertama kali menempel padanya.

Berdarah lagi.

Berantakan lagi.

Sampai kapan?

Dia sudah sangat lelah. Sudah sangat muak.

Pada siapa lagi mesti dia percayakan hatinya.

Tidak ada manusia yang benar-benar bisa di percaya. Tanpa terkecuali dirinya sendiri.

“Renggut saja hati dan jiwa ku tuhan. Aku lelah. Tidak ada lagi yang bisa ku percaya. Bahkan diriku sendiri. Aku terlalu buta. Terlalu muda di perbudak dunia.” Bisiknya pada tuhan.