Dalam sejarah pemilihan kepala daerah tak pernah lepas dari politik uang, politik identitas, politik premanisme, penyebaran hoax, ujaran kebencian dan kampanye hitam.
Walaupun keenamnya tidak muncul bersamaan dalam satu momen pilkada, ada dua yang muncul yakni politik uang dan politik identitas.
Dari praktek politik ini khususnya politik identitas muncul praktek politik hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam dan tidak jarang politik kekerasan bergaya preman.
Inilah yang saya tangkap dari aksi mahasiswa PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Cabang Pasangkayu di Bundaran Smart siang kemarin.
Dalam melakukan aksinya selain berorasi mereka juga membagikan stiker. Bunyi stikernya, Tolak dan lawan Politik Uang, Politik Identitas, Politik Premanisme dan Kampanye Hitam dalam Pilkada 2020.
Karena membagikan stiker kepada pengendara yang lewat saya sempat menghentikan kendaraan dan mengamati aksi itu.
Saya tertarik dengan orasi salah seorang diantaranya. Sang orator dengan berapi-api meneriakkan bahayanya politik identitas.
Dia mengatakan sebagai turunan dari politik identitas yakni suku, ras agama dan antar golongan tak ada sama sekali hubungannya dengan kualitas calon pemimpin.
Selain itu politik identitas juga dipakai mengaburkan pemilih dari obyektivitas. Parahnya bisa memicu perpecahan di tengah masyarakat hingga menimbulkan konflik sosial.
Sebenarnya kekuatiran mahasiswa-mahasiwa PMII itu bisa dimaklumi mengingat politik identitas tak ubahnya mental korupsi dalam berdemokrasi yang sulit dikikis karena sudah mengakar tapi bukan membuat kita lantas menyerah dan melakukan pembiaran.
Di sinilah saya mengangkat jempol buat mereka mengingat saat ini gerakan moral menjelang Pilkada 2020 yang menyuarakan tolak politik identitas gaungnya kurang terdengar. Padahal isu ini sangat rentan terjadi seperti pada Pilkada Jakarta dan Pilpres yang lalu.
Sebenarnya jauh hari sudah ada regulasi dibuat untuk menanganinya, yakni UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur larangan atas praktek politik identitas.
Begitu pula dengan sanksi tegas bagi yang melanggar yakni diatur dalam pasal 187 ayat 2, yakni adanya sanksi pidana paling singkat dengan pidana penjara selama 3 bulan atau paling lama 18 bulan atau dengan denda paling sedikit 600 ribu dengan maksimal 6 juta rupiah.
Lalu mengapa politik identitas masih ada?
Tentu pembuatan aturan saja tidak cukup harus ada sanksi tegas bagi yang melanggar. Sanksi jangan hanya menghiasi lembar peraturan tapi irit dijatuhkan.
Ini semua merupakan kerja kontinyu dari semua penyelenggara pemilu hingga aparat penegak hukum. Serta membutuhkan partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai pemilih tapi untuk ikut mengawasi sekaligus mawas diri. Mengapa?
Tugas utama kita sebagai pemilih adalah mempelajari betul rekam jejak pasangan calon dan menyimak gagasan-gagasan mereka bukan malah menyibukkan diri larut dalam hasutan berbasis SARA. Atau lebih buruk lagi ikut menyebarkan.
Pilkada 9 Desember 2020 sudah di depan mata. Kita semua mesti berkomitmen untuk Pilkada damai dilarang penggunaan bahasa, narasi atau simbol-simbol apa pun berbau politik Identitas karena bisa memecah belah dan membahayakan persatuan.