Mudik Dilarang, Merindukan Kampung Jangan

Gambar : Google.com

Halaman hijau, bunga berbaris sejajar dengan tanaman sayur menjadi penyejuk mata saat terbangun pagi hari dikampung halaman. Pagi itu, matahari masih menguning, suara sahut ayam berkokok di penjuru rumah menandakan waktu pagi, dari jendela rumah, sepoi angin tertiup memberi kesejukan hati dan pikiran, rasanya tenang nan nyaman. Serasa merdeka. Ya, itulah suasana kampung sehingga membuat kita rindu.

Bulan ini, arus mudik tak seperti masa sebelum Pandemi Corona mewabah. Ada himbaun untuk tak mudik bagi sanak keluarga yang tak dikampung. Sebab dengan tidak mudik kita menjaga keluarga dikampung dari rantai persebaran Virus. Salah satu caranya, mudik dilarang.

Tentu, himbauan ini sangat memberatkan bagi masyarakat yang ingin mudik. Sebab saat mudik mereka bisa melepas rindu dikampung. Berkumpul, bermain, dan bernostalgia. Masa lalu adalah rangkaian yang akan dinikmati saat mudik. Tentunya dengan hidangan makan kampung yang tak kampungan.

Saat hari raya Idul Fitri moment mudik paling fenomenal, seantero Nusantara melakukannya. Yang di kota kembali ke desa. Ada bingkisan, ole-ole yang akan di bagi saat dikampung bersama sanak keluarga, makanan dan pakaian paling sering menjadi menu ole-ole itu. Dibagi habis, lalu dinikmati bersama.

Selain itu, saat menjelang sholat Idul Fitri, suasana masjid yang kadang akhir Ramadhan sepi kembali ramai, sangat ramai. Tak ada spasi shaf, kecuali kali ini karena larangan berkumpul dan harus berjarak. Begitulah Pandemi, telah merampas aktivitas  berkumpul, semoga saja cepat berlalu.

Beberapa hari yang lalu, pemerintah daerah atas instruksi pemerintah pusat tentang pelarangan mudik mulai dieksekusi ditingkat daerah, respon kebijakan itu menggelinding bak bola panas, angkutan umum antar daerahlah yang menjadi penerima bola panas itu, tak tau mau dilempar kemana, akhirnya ikut panas seperti bola panas tadi.

Betapa Tidak, sumber utama penghasil angkutan umum antar daerah adalah penumpang yang hendak mudik, namun ada larangan mudik. Hasil dari mengangkut pemudik adalah satu-satunya ruang agar kompor dapur tetap menyala, baju lebaran untuk sanak keluarga menghiasi hari lebaran.

Mudah-mudahan ada solusi selain pelarangan mudik. Mungkin mudik dengan mematuhi protokol kesehatan. Jaga jarak, menggunakan masker dan sering membersihkan diri agar rantai virus tetap terputus dalam perjalan mudik.

Kembali ke kampung, jangan mudik..

Di balik susana itu, tentu kampung juga punya cerita yang lain. Cerita saat arus modernitas mulai hadir ditengah-tengah kehidupan kampung. Biasanya Modernitas dilekatkan dengan Kota metropolitan, semisal bangunan megah bertingkat menjulang tinggi, tranportasi padat dan macet, pasar di gedung megah tanpa tawar menawar adalah potret fisik modernitas.

Potret yang non fisik juga hadir bersamaan dengan kemegahan gedung itu. Budaya baru yang tak seperti di kampung masa lalu. Ia memproduksi suasananya sendiri. Secara sendiri-sendiri tanpa peduli yang lain.

kondisi itu perlahan mewarnai kampung, sebab tuntutan pembangunan. Awalnya bertentangan dengan pakem lama, perlahan mengikis hingga akarnya pun nampaknya akan tercabut. Harap kita tidak!

Sebagian dari kita membilangkan, Modernitas membawa kemudahan, efesien, relatif murah. Mesti diterima sebagai bagian laju pradaban, tapi dengan bijak saat berdampingan dengannya. Sebaiknya, Identitas kampung harus lebih dominan, agar kekhawatiran tercerabut dari akar kebudayaan kampung tetap terwariskan ke generasi berikutnya.

Kampung letak dengan Pohon rimbun, rumput hijau, air bersih, sawah, jalan setapak, gotong royong, tradisi dan lainnya. Semoga saja tetap tumbuh bersama di masa modernitas itu, agar kampung tetaplah sebagai kampung yang dirindukan.

Kisah tentang kampung tak ada habisnya untuk dicerita, juga tak bosan untuk didengarkan kisahnya. Banyak pengalaman dan pelajaran, tetaplah menjadi madrasah bagi generasi yang lahir dari rahimmu.