Kappung Jawa atau Kampo’ Jawa adalah nama lain wonomulyo. Kappung Jawa adalah sebutan orang Mandar sesuai dialeknya. Sementara Kampo’ Jawa adalah sebutan orang Bugis. Disebut demikian karena kampung ini dulunya dibuka dan dihuni pertama kali oleh para transmigran dari Jawa yang datang sekitar tahun 1920-an.
Kini Kappung Jawa atau wonomulyo tidak hanya dihuni oleh orang jawa. Tapi juga oleh suku-suku lain seperti Mandar, Bugis, Sunda, Makassar dan lain-lain. Daerah ini menjadi sangat terbuka dan plural.
Sebagai daerah transmigran orang Jawa, Wonomulyo banyak memiliki kultur yang mirip dengan daerah asal para transmigran. Pertujukan Jarang Kepang atau Kuda Lumping yang ada di Jawa juga ada di Kappung Jawa. Pertunjukan Ronggeng juga, dan beberapa tradisi atau budaya yang dianut di tanah jawa bisa disaksikan di Wonomulyo.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menulis disini salah satu tradisi Orang Jawa menyambut Ramadhan yakni “Nyadran”. Nah, masih menyangkut Ramadhan. Saya ingin kembali berkisah tentang betapa kayanya budaya dan tradisi orang Jawa di Wonomulyo. Lewat tradisi lain yang tak kalah uniknya bernama Malem Selikuran atau Malem Selikur.
Meskipun sama-sama diadakan dalam rangka memuliakan dan memeriahkan bulan Ramadhan. Nyadran dan Malem Selikur adalah dua tradisi yang berbeda.
Bedanya kalau tradisi Nyadran dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Maka tradisi Malem Selikur, adalah tradisi yang dilakukan untuk menanti turunnya Lailatul Qadar.
******
Bagi Umat Islam, Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nanti. Bulan istimewa. Bulan yang lebih mulia daripada seribu bulan. Salah satu keistimewaan Bulan Ramadhan adalah adanya malam Lailatul Qadar.
Menurut keyakinan umat islam, pada saat malam Lailatul Qadar malaikat turun ke bumi untuk mencatat segala amal ibadah kita. Jika beruntung kita dapat bersua malaikat di saat sedang beribadah pada malam itu, maka dalam buku ibadah akan dicatat oleh malaikat bahwa kita telah beribadah selama 83,3 tahun. Jika jatah umur kita 70 tahun, anda sudah ada surplus ibadah selama 13,3 tahun. Misalnya umur anda 70 tahun dan bertemu Lailatul Qadar sepuluh kali saja. Maka anda punya tabungan pahala 833 malam.
Gimana, “dahsyat”kan malam Lailatul Qadar?
Jadi amat wajar jika berdasarkan hitung-hitungan matematis tadi, semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan berkah kemuliannya.
Kembali ke Malem Selikur
Malem Selikur dalam bahasa Jawa berarti Malam dua puluh satu atau malam kedua puluh satu. Dikalangan orang jawa yang menetap di Kappung Jawa, Malem Selikur adalah malam yang mengawali 10 malam terakhir bulan Ramadhan, yakni malam ke-21.
Diantara 10 malam akhir diyakini ada salah satu malam diantara malam-malam ganjil yakni malam 21, 23, 25, 27 dan 29 sebagai malam turunnya Lailatul Qadar. Makanya untuk menyambut kedatangan Lailatul Qadar diadakanlah kenduri. Kenduri atau Kenduren dalam bahasa jawa dikenal juga dalam tradisi Mandar dan Bugis yakni Ma’baca-baca.
Dalam kenduri itu semua orang membuat “berkat”. Berkat adalah sajian makanan komplik versi Jawa. Biasanya terdiri atas nasi gurih, rempeyek kacang, sambal goreng, sayar-sayuran dan buah-buahan. Serta menu special yang tak pernah ketinggalan: Ayam goreng.
Kenduri biasanya dimulai ketika pak ustad pulang dari tarawih. Bentuk sedekahnya adalah dengan cara memberi, yakni saling tukar isi berkat. Sebagai masyarakat agraris yang hidup dari bercocok tanam, para transmigran itu tidak biasa bersedekah dengan uang, melainkan bersedekah makanan. Dalam kehidupan sehari-hari memberi itu luar biasa.
Mengapa luar biasa?
Karena untuk Malam Selikuran perayaannya dilakukan dengan saling berbagi makanan yang hanya muncul saat ada pesta hajatan. Jadi momen ini memang sangat special bagi orang Jawa.
Selain berbagi berkat, masih ada tradisi lain yang mewarnai Malem Selikuran. Tradisi itu dilakukan menjelang buka puasa atau menjelang Magrib. Biasa pada waktu ini mereka menyalakan lilin atau lampu pelita yang diletakkan di depan pintu rumah.
Dalam keyakinan orang jawa setiap malam Lailatul Qadar pintu surga terbuka. Sehingga para arwah bisa turun ke bumi mengunjungi keluarganya. Lampu pelita atau lilin itulah yang menjadi penuntun para arwah untuk sampai ke rumahnya.
Tidak hanya itu, usai shalat tarawih dan menikmati berkat yang sudah didoakan pak imam atau ustad, para pemuda akan berkumpul menyalakan obor dan berjalan kaki keliling kampung sepanjang malam. Katanya, siapa tahu nanti kalau Lailatul Qadar benar-benar turun pada malam itu mereka bisa kecipratan pahala.
Kok bisa, memangnya mereka ibadah?
“Oh, jangan salah kami sesungguhnya sedang ibadah. Bentuk ibadahnya begadang dan yaa.. jalan kaki itu.” Katanya kompak.
Pernah suatu ketika iseng saya tanyakan makna menyalakan obor dan jalan keliling kampung pada seorang imam kampung kenalan kakek saya di Desa Kebunsari. Jawabannya sungguh mengangetkan, “Tradisi Malem Selikuran dengan menyalakan obor adalah warisan dari Wali Songo yang merupakan simbol dari obornya para sahabat takkala menjemput Nabi Muhammad SAW yang turun dari Jabal Nur menerima wahyu.” Wow..! Saya tersentak.
Kalau ingat penjelasan teman dan pak imam itu saya sering senyum-senyum sendiri. terbayang sebuah pantun, “Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek.” Hahaha
Waktu berlalu..
Sama halnya Nyadran, saya kuatir tradisi Malem Selikur ini juga sudah raib dalam khazanah tradisi menyambut turunnya Lailatul Qadar di Kappung Jawa.
Sampai saya menyelesaikan tulisan ini, hal itu tak pernah saya tanyakan pada teman-teman saya, orang Jawa. Beda dengan Nyadran, sebelum menulis saya sempat nanya kanan-kiri dulu baru mulai mengetik.
Ditengah pesimisme itu saya tetap berharap, meskipun suasana sudah terang benderang karena ada PLN. Juga ada keseruan bermain gadget, para anak muda di Kappung Jawa masih mau menjalankan tradisi keliling kampung membawa obor menyambut turunnya malam Lailatu Qadar.
Begitu pula tradisi bagi-bagi berkat di Malem Selikur. Antara ragu dan tidak. Saya yakin tradisi ini tetap ada cuma mungkin tidak seramai waktu saya masih kecil dulu. Peringatan Malam Selikuran tidak lagi ditemui disembarang tempat melaingkan di pojok-pojok kampung yang terpencil. Oleh warga tertentu dalam kalangan terbatas.
Sampai disini kita bisa berkata, Malem Selikur bukanlah ritual belaka. Tujuannya bukan sekedar bagi-bagi berkat atau jalan keliling kampung sambil menyalakan obor, tapi lebih dari itu. Malem Selikur mengajarkan kita semangat berbagi. Menanam sikap empati sekaligus intropeksi diri. Sebuah bentuk antitesa dan perlawanan terhadap budaya individualisme dan egosentrisme yang kian menggurita dianut oleh masyarakat modern dewasa ini.
Makanya, sedih rasanya bila tradisi baik ini juga hilang di Kappung Jawa.