Mudik yang Terlarang

Gambar : GMB Internet

Dulu, mudik merupakan bahagian dari ritual akhir Ramadhan menyenangkan yang seakan diwajibkan, kini menjadi ritual yang terlarang.

Sebelum dua Ramadhan ini, mudik difasilitasi, disiapkan segala sumber daya untuk mendukungnya. Jauh-jauh hari akses diperbaiki : jalanan yang berlubang ditambal sana sini, armada angkut mulai darat, laut, dan udara disiapkan sedemikian rupa.

Yang mau lewat jalur darat diberikan kemudahan gratisan, yang mau menyeberang lautan dipadatkan jadwal pelayaran, dan yang mau terbang difasilitasi kebijakan tekanan kepada maskapai untuk tidak melambungkan ongkos penerbangan.

Para aparat juga disibukkan dan dikerahkan dengan berbagai nama operasi : mulai dari operasi Ketupat, Lilin, Zebra dan semacamnya. Semua dilakukan demi kelancaran dan pengamanan dunia permudikan.

Bagi sang perantau tahunan, akhir Ramadhan memang selalu dinanti. Bukan hanya karena keistimewaan nilai ibadahnya, tapi juga merupakan jawaban atas pertanyaan, “kapan pulang?, Mudik?, Nanti akhir-akhir Ramadhan”.

Pokoknya, mudik merupakan puncak dari segala “ibadah” selama perantauan. Keindahan mudik seakan merupakan pahala tersendiri setelah sekian lama berpuasa.

Seminggu jelang mudik badan terasa ringan : bekerja, beraktivitas apa saja, enak dirasa. Cerita dengan tema rupa-rupa tak terasa, sembari muka terus berseri-seri, dan tak jarang senyum-senyum sendiri.

Apatah lagi malam jelang keberangkatan. Momen ini hampir sama dengan masa SD ketika dibelikan sepatu baru : dicoba dan dicoba lagi, dipakai jalan, mau tidur dicoba lagi, sebelum baring dipakai lagi, tidak bisa tidur !.

Kalau malam jelang mudik : barang yang sudah dikemas jauh hari dilihat lagi, oleh-oleh diperiksa kembali, mondar-mandir patroli barang-barang, tiket dilihat-lihati, dibaca kembali semua yang tertera, setiap kata di dalamnya seakan penuh makna, padahal hanya meresapi rasa bahagia.

Saat berpamitan, saat mengangkat barang, saat menunggu keberangkatan, semua rasa seakan melayang. Berjubel, berdesakan dan berebut tempat duduk saat naik armada?, Ah tak terasa!.

Dua jam sebelum tiba, seakan terasa lama. Melihat dari kaca armada : kiri-kanan jalan seakan pemandangan luar biasa padahal hanya jejeran rumah warga, iklan baliho berbagai merk dagang sepanjang jalan tak luput dari pandang. Papan plang nama jalan, gapura kampung terbaca semua.

Satu setengah desa sebelum kampung halaman, semua yang terlihat seakan begitu mencengangkan : jalanan, jembatan, rumah-rumah warga, kios pertokoan, pepohonan, hingga rerumputan semua tampak baru semua.

Masuk pintu gerbang desa, sepoi angin menerpa. Tarik nafas pelan, tarik nafas lagi, menghirup pelan, ah…begitu beda rasa segarnya, wangi ranum udaranya.

Momen menyusuri jalan setapak desa, para tetangga menegur ala kadarnya, ucap singkat sembari senyum sebagai pelengkap jawaban atas rasa mereka.

Dan akhirnya, sampai di halaman, depan pintu dan mengetuknya, disambut wajah tua bersahaja, cium tangan dan dipeluknya…ah…

Kalau begini saya langsung pingin kemas barang saja, hahaha…

Tapi apalah dinyana, pandemi telah merubah segalanya. Kampung yang sangat dirindukan menjadi terlarang untuk dikunjungi, dicium aroma segar udaranya ditumpahi cerita sang pengelana desa. Semua dilarang.

Sebenarnya semua mafhum, demi keselamatan bersama : orang tua, sanak saudara dan tetangga warga desa.

Meskipun begitu banyak juga yang meronta, teriak-teriak, tapi orasinya di media sosial saja tentunya. “Mudik dilarang, tapi berwisata dibolehkan, ini kan…itu kan…bla bla bla seterusnya”.

Sebetulnya sederhana, kalau mau mudik ya pulang saja, bisa jauh hari sebelumnya seperti siasat teman saya. Dia mudik sebelum mudik itu dilarang. Nah, kalau mau mau mudik setelah mudik itu dilarang, ya namanya cari perkara saja.

Sebenarnya pemerintah tahu bahwa mudik adalah cita-cita warga +62 yang susah dibendung, makanya jauh hari disampaikan : mulai tanggal sekian akan dilarang, dilakukan pembatasan. Ini sebenarnya kode-kode mata saja, bahwa ada waktu dimana mudik diberikan kelonggaran untuk ditunaikan. Ya sebelum tanggal ketetapan pelarangan.

Kita tahu, mudik lebaran tahun ini menjadi ritual terlarang karena untuk menekan persebaran covid-19. Kalau menurut saya bukan hanya itu intinya. Kita harus akui, bahwa kita yang datang dari kota sering membawa pulang virus-virus tidak baik untuk kehidupan di kampung halaman.

Rumah-rumah di kampung saya sekarang bak villa, sunyi ditinggal yang empunya ya karena ada yang pernah ke kota dan menceritakan enaknya duit kota. Ladang bak hutan, sawah kekeringan karena mereka ditinggal kerja ala kota. Orang renta cari rumput, cari kayu di ladang sendirian karena anak-anaknya menganggap itu bukan lagi pekerjaan, mereka memilih merantau di kota. Semua karena cerita yang datang dari kota. Minuman keras, Narkoba, jelas asalnya bukan dari desa. Eksploitasi alam : hutan, gunung, sungai datang dari mana?.

Tapi sudah-sudah, karena kita dan tentu saya juga adalah pelakunya. Makanya kita nikmati pelarangan ini, kita jadikan bahan evaluasi diri.

Tapi netijen terlanjur heboh. Mengaitkan kemana-mana. Meng-upload gambar-gambar larangan mudik dengan caption macam-macam. Men-share video orang disuruh putar balik dan dikomentari sekenanya. Terus dan berkali-kali.

Atau jangan-jangan, mereka yang heboh itu, memang tidak mau mudik dan yang tidak memiliki kampung sebagai tempat mudik? Bisa saja. Mana bisa yang mau mudik sibuk ngurusi isu-isu di media. Yang mau mudik ya siapkan tiket, kemas-kemas, siapkan barang dan segalanya. Seperti teman saya yang sekarang sudah bercengkrama dengan anak, orang tua dan sanak familinya.

Tapi kayaknya itu reaksi warga +62 yang terlalu serius dalam hidup, ngamu’an, suka marah. Beda dengan mereka yang santai, suka lucu-lucuan. Menyikapi larangan mudik ya dengan meme lucu-lucuan : bangunan tembok atau mobil tank di perbatasan tiap kabupaten, atau kata-kata lucu “Pengen pulang ke kampung halaman, eh lupa halaman berapa”, atau “Yakin mau mudik?, ndak takut ditanya kapan kawin”?, di bokong mobil truk juga tertulis riang “Dilarang mudik ke istri tua, silahkan putar balik ke istri muda”.

Saudara-saudara, menghibur diri, menyenangkan diri itu penting sekali seperti halnya saya yang tidak bisa berlebaran tahun ini di kampung kesayangan. Hahaha…