Sudah tiga hari Sukardi tidak masuk kantor. Semenjak wabah Covid-19 menyebar luas dan pemerintah mengeluarkan kebijakan work from home (WFH) ia tidak kemana-mana. Anak-anak juga tidak ke sekolah. Oleh gurunya mereka di minta belajar di rumah di bimbing orang tua.
Sementara bagi istrinya beberapa hari belakangan ia begitu senang. Rumahnya yang dulu sunyi di pagi hari kini ramai dengan kehadiran suami dan anak-anaknya.
Di beranda belakang rumah sambil minum teh Sukardi merenungi cerita istrinya tadi malam tentang nasib tetangga mereka, Mimik. Mimik yang tinggal tak jauh dari rumahnya sehari-hari bekerja menjual sup ubi di sebuah sekolah dasar di kampungnya.
Sukardi mengenal Mimik dan keluarganya. Mimik sudah lama menjanda. Ia tinggal bersama seorang anak dan bapaknya yang sudah tua. Hidupnya sederhana. Bahkan bisa dikatakan kekurangan.
Bila berlebih misalnya menerima Tunjangan Tambahan Penghasilan (TPP) dari kantor, Sukardi biasa membelikan beras sekedar membantu meringankan beban hidup mereka. Ia selalu mengingat pesan guru ngajinya, tak akan masuk surga seseorang yang tidurnya nyenyak. Sementara tetangganya dalam keadaan lapar.
Namun bantuan ini tentu tidak mencukupi kebutuhan hidup Mimik sekeluarga. Karena Mimik tak punya pekerjaan tetap begitu pula bapaknya. Mereka juga tak memiliki sejengkal tanah untuk bertani atau berkebun.
Menurut istrinya semenjak anak-anak sekolah diliburkan otomatis warung Mimik juga tutup. Ia tak lagi mempunyai pekerjaan. Dengar-dengar ia berencana membuka warung di pinggir pantai karena di sana masih ramai pengunjung.
Namun seseorang telah mengingatkan. Ia di minta supaya tak membuka warung. Bila berjualan di sana ia bisa terjangkit virus corona. Begitu katanya.
Kepada orang itu Mimik balik bertanya, “kalau tak mencari nafkah bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Bagaimana tunggakan cicilan hutang-hutanya yang harus segera dibayar. Apakah dia mau bertanggung jawab atas nasib keluarganya?”
Sukardi merasa ada kekuatan dalam pertanyaan Mimik itu.
Keadaan keluarga yang melarat dan tetangga yang boleh di kata tak peduli kepada kemiskinan mereka. Seakan jadi pemicu munculnya keberanian untuk bertanya seperti itu.
Di sadari pada satu sisi kebutuhan perut tak bisa ditunda. Ia tak sanggup mendengar tangisan anaknya karena kelaparan. Semenetara bapaknya yang sakit-sakitan karena penyakit kronis butuh pembeli obat. Tapi di sisi lain ia sadar bahayanya virus Corona. Penyakit itu tidak main-main, taruhannya nyawa.
Namun pembenaran dari sisi kebutuhan perut dan menghidari virus corona mengandung konflik batin. Seperti makan buah simalakama. Bisakah dengan alasan lapar seseorang lalu kemudian menghadapi bahaya lain? Atau jelasnya, bolehkah Mimik membuka warung dengan resiko terjangkit Covid-19 dengan alasan lapar?
Sukardi berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu. Bila jawabannya adalah satu titik di antara ya atau tidak, cenderung berat ke sebelah manakah dia? Sukardi terus merenung.
Setelah merenung dengan menimbang segala aspek terutama untung dan ruginya bila Mimik memilih salah satunya, bulu kuduk Sukardi merinding. Nuraninya berbisik bahwa keinginan Mimik berjualan sup ubi sebenarnya di dorong oleh alasan yang rasional juga.
Jelas bagi Mimik, kenekatannya untuk kembali berjualan sup ubi lahir dari sikap tetangga di kiri kanannya. Mereka acuh tak acuh dan tidak mau peduli dengan nasibnya sekeluarga.
Bila demikan, Sukardi pun ikut menanggung dosa kolektif itu. Sukardi merasa telah membantu keluarga Mimik dengan beberapa liter beras setiap bulan. Tapi ia sendiri mengakui bahwa tindakan karikatif seperti itu tak akan memperbaiki nasib Mimik. Tapi apa mau di kata cuma segitu kemampuannya.
Mengingatkan Mimik untuk tidak membuka warung dan kembali berjualan sup ubi di tengah keramaian adalah kebaikan. Namun menolong meringankan penderitaannya adalah bentuk kebaikan yang lain.
Sukardi yakin Mimik akan mengerti dan mengurungkan niat bila tetangganya peduli dengan membantu meringankan bebannya minimal untuk sementara sampai wabah virus corona ini berakhir.
Bagi Sukardi wabah Covid-19 adalah ujian. Ujian bagi kesabaran kita dalam menjaga jarak dari kerumunan dan tetap tinggal di rumah. Sekaligus juga ujian bagi kepedulian kita kepada sesama.