PENGALAMAN TAK MENGENAKKAN, MEMBELI BARANG YANG TAK DIINGINKAN

Foto : Ulya Sunani

Saya berniat membeli microphone bluetooth untuk HP. Ini jenis barang pertama yang akan saya beli, maka beberapa lama saya pilah-pilah, baca tulisan-tulisan kecil di pembungkusnya. Saya mulai menyerah: karena jenisnya ternyata beragam. Akhirnya, ada Mas-mas penjaga, dan saya meminta informasinya.

“Ini yang cocok pak, yang itu untuk i-phone,” ucapnya. Saya mengambilnya, bayar di kasir.

“Bisa dicoba?”

“Di lantai bawah pak, tapi jangan lupa struk pembayaran disertakan,” sambung sang kasir.

Ambil nomor antrian, kemudian tiba giliran. Saya menyerahkan barang, beserta struk pembayaran. Sesuai informasi sebelumnya. Dibuka barang, dicoba. Ditest, tidak berfungsi seperti harapan. Diotak-atik HP, dicoba lagi, tak berfungsi lagi. Si tester menyerah.

Akhirnya, saya disuruh ambil barang serupa. “Siapa tahu yang lain bisa,” ucapnya.

“Jadi saya langsung ambil saja? “Tak usah bawa ini (struk pembayaran).”

“Langsung saja ambil barang pak.”

Saya naik lagi ambil barang, struk pembayaran saya tinggal.

Dapat barang serupa, saya bawa ke bawah. Ternyata sudah ada konsumen lain yang ia layani, pasang anti gores. Selesai. Konsumen ini pergi.

Saya nyodok maju lagi, menyerahkan microphone yang sama persis. Dibuka, ia coba lagi. Kali ini gantian, saya yang pegang microphone: bilang, “tes, tes”. Tidak berfungsi. Di otak-atik lagi, dites lagi, masih tak berfungsi.

“Bisa diklaim kembali ini pak,”. Ia kemudian mencari struk pembayaran saya. Dibuka-buka serakan kertas di depannya, tidak ada struk yang dimaksud. Dibongkar kantongan berisi struk pembayaran, tak didapati.

Masih penasaran, tapi tidak enak dengan saya. Difungsikan HT di tangannya. Tak lama, ada petugas lain yang membawa barang microphone serupa. Ia coba lagi, masih tak bisa. Kali ini, ia betul-betul menyerah!
.
“Seandainya masih ada struk pembayaran, bisa diklaim ini pak.”

Eeeeh… “Stuk pembayaran saya tadi di sini,” saya tunjuk meja di depannya. Sembari itu saya mendongak ke plafon. Oh, ada cctv-nya. “Kalau ia masih ngotot, cctv jaminannya,” dalam hati. Ia mencari-mancari, mengais-ngais lagi. Ia pasrah.

Dibawanya barang tadi ke kasir. Tak lama ia serahkan struk pembayaran baru. “Bawa maki ini ke customer service, nanti uangta akan dikembalikan di kasir itu,” ia menunjuk Mas-mas kasir.
.
Saya datangi Mbak-mbak customer cervis. Dilihat struk, dicoret-coret sedikit. Saya sampaikan saya mau klaim.

“Bisa, asal bapak juga membeli salah satu barang lagi.
Sembarang pak, biar harga seribu.” Berarti saya dipaksa beli lagi!

Dengan raut jengkel saya pilih-pilih barang. Yups..Toko aksesoris HP, mana ada barang harga semurah itu.

Dongkol, saya mondar-mandir. Pokoknya yang penting ada barang saya beli! Saya lihat label harga, saya ambil saja. Saya tidak tahu barang apa, gunanya apa, saya ndak tahu.

Saya ke kasir yang ditunjuk Mas-mas tester tadi, serahkan struk dan barang. Uang saya kembali, tapi dengan selisih barang yang terpaksa saya beli.

Menghela nafas… serasa saya dari belantara, yang di sana siapa pun bisa diterkam oleh ganasnya sistem. Ketidakberdayaan pembeli di hadapan todongan sistem perdagangan. Di balik kenyamanan arena belanja yang ditampilkan, ada warning bagi siapa saja, “serahkan uang, biar berapa saja,”!

Dasar penghisap!