YOTHAM MARCHASAN, KOMANDAN KOMPI KRISTEN BATALYON HIZBULLAH

Foto : Google.com

Jalan raya Cianjur – Ciranjang – Bandung itu sudah tak berbentuk lagi. Permukaan aspalnya sudah tertutup semak-semak. Sementara berbagai pepohonan liar tumbuh subur di sekitarnya. Sebagian sudah menjulang tinggi dan berukuran raksasa, rimbun melindungi kawasan tersebut dari sengatan matahari.

Jalan yang diapit oleh tebing tinggi dan jurang yang curam itu sejatinya masuk dalam wilayah tepi Sungai Cisokan dan termasuk dalam jalur De Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal H.M. Daendels (1808—1811). Namun sejak akhir 1970-an, jalur (sekaligus jembatan-nya yang melintasi Sungai Cisokan) itu sudah tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai begitu saja.

Tak banyak orang mengerti, jika tempat itu merupakan salah satu medan pertempuran paling brutal bagi tentara Inggris (terutama dari Kesatuan Gurkha Rifles) di Pulau Jawa. Mereka kerap menyebutnya sebagai jalur neraka Ciranjang, karena di sanalah banyak anggota pasukan Inggris menemui ajal.

Begitu pentingnya arti tempat itu bagi mereka, sehingga Red Flash (majalah internal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha Rifles, Inggris) pernah mengulasnya secara khusus dalam sebuah judul: “The Battle of Tjirandjang Gorge” (Pertempuran di Tebing Ciranjang).

Salah satu kekuatan milisi yang sempat menyusahkan prajurit-prajurit asal Nepal itu adalah Kompi Yotham Marchasan dari Batalyon III Hizbullah. Kompi Yotham berisi para pemuda Kristen dari wilayah Gunung Halu, sebuah distrik Kristen di Cianjur yang dibentuk pada 1901 oleh pemerintah Hindia belanda. Mayoritas anggota Kompi Yotham adalah pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang.

Lantas bagaimana ceritanya para pemuda Kristen itu bisa menggabungkan diri dengan sebuah milisi muslim terbesar di Indonesia saat itu?

Yotham awalnya adalah anggota Pembela Tanah Air (PETA). Ketika militer Jepang kalah perang, dia lantas menggabungkan diri dengan Lasykar BBRI Ciranjang pimpinan Mohamad Ali. Namun ketika BBRI dipukul mundur ke arah selatan Ciranjang oleh pasukan Inggris, Yotham yang tertinggal di bagian utara memutuskan untuk bergabung dengan Batalyon III Hizbullah pimpinan Mochamad Basyir.
Alih-alih ditolak, keinginan bergabung kelompok Yotham justru disambut secara baik oleh Mochamad Basyir.

Para pemuda Islam di Hizbullah sendiri sebenarnya sudah akrab sejak lama dengan para pemuda Kristen. Mereka rata-rata berasal dari kampung yang sama di Gunung Halu. Begitu akrabnya, hingga untuk urusan markas besar saja, Batalyon III Hizbullah memilih rumah seorang janda tua yang merupakan seorang Kristen taat. Namanya Rachel.

Yotham tidak sendiri. Ada banyak pemuda-pemuda Kristen Gunung Halu yang kemudian bergabung dengan Hizbullah dan bernaung di bawah Kompi Yotham. Para pemuda itu antara lain Samuel dan Carson dari Rawaselang, Nabot dari Jatinunggal, Mojo dari Calingcing, Raiin Majiah dari Palalangon, Maad dan Madris dari Pangarengan, Cipto Adhi dari Ciendog dan Alfius dari Pasirkuntul.

Batalyon III Hizbullah yang bermarkas di tengah-tengah umat Kristiani di Palalangon melangsungkan hubungan yang baik dengan masyarakatnya. Mereka selalu saling membantu jika ada kesulitan.

Bahkan sejak saat awal berdirinya pada Februari 1946, Gereja Kristen Palalangon di bawah pimpinan Pendeta Empi pernah menyumbangkan beberapa barang milik gereja untuk Hizbullah.
Pendeta Gunung Halu (Empi) menyumbangkan dua ekor kuda dan satu mesin tik untuk keperluan administrasi Hizbullah.

Kedua ekor kuda tunggangan itu dalam kenyataannya sangat berguna untuk mobilitas pasukan Batalyon III Hizbullah. Terutama ketika mereka harus menyampaikan surat-surat penting ke induk pasukan di Purwakarta.

Tidak hanya menyediakan fasilitas non-tempur, para pemuda Kristen di Hizbullah itu juga terbilang aktif mencari senjata api. salah satu senjata api pertama yang dimiliki merupakan hasil kerja keras para pemuda Kristen. Senjata jenis Steyr lengkap dengan 10 hower peluru-nya itu didapat oleh Raiin Majiah dari seorang bekas anggota polisi di era Hindia Belanda.
Karaben itu kemudian dicoba dan ternyata masih berfungsi baik. Lalu diberikan kepada Komandan Batalyon,Mochamad Basyir dan diberi nama “Si Cikal”.

Setelah mendapatkan Steyr itu, lambat laun Batalyon III Hizbullah terus melengkapi pasukannya dengan senjata api. Selain itu, mereka pun kemudian mendapatkan beberapa peti granat dan puluhan bom batok (ranjau darat).
Dengan modal senjata-senjata sederhana itulah mereka bertempur melawan tentara Inggris dan Belanda.

Ciranjang awal 1946 adalah neraka terpanjang bagi para tentara Inggris yang melewati jalur Cianjur-Bandung. Sejak Desember 1945 hingga April 1946, tak henti-nya mereka selalu disergap dengan serangan mendadak dari balik tebing-tebing tinggi sepanjang Sungai Cisokan.

Bersama pemuda-pemuda Muslim, Kompi Yotham kerap terlibat dalam penghadangan konvoi militer Inggris di jalan raya Ciranjang-Bandung. Mereka pun menjadi saksi, bagaimana kuat dan “mengerikannya” alat-alat perang milik Sekutu.

Tahun 1947, Indonesia seutuhnya diserahkan Inggris kepada Belanda. Seperti para pemuda Indonesia lain, pemuda-pemuda Kristen yang tergabung dalam Kompi Yotham Batalyon III Hizbullah pun tak bisa menerima itu. Mereka pun melawan dengan melakukan penyerangan-penyerangan terhadap markas militer Belanda di kota Ciranjang.

Dalam pergerakannya, Kompi Yotham dikenal sangat pemberani namun cerdas dalam berstrategi, hingga tak jarang menimbulkan kerugian besar di kubu musuh.
Militer Belanda sangat bernafsu sekali menguasai basis Batalyon III Hizbullah di Gunung Halu. Namun para petarung Hizbullah yang berbeda agama itu selalu bisa mengkandaskan serangan-serangan tentara Belanda dengan memanfaatkan situasi medan yang sangat sulit.

Saat mempertahankan tanah tumpah darah itulah, satu-persatu anggota Hizbullah termasuk pemuda-pemuda Kristen, berguguran. Salah satu pemuda Kristen yang gugur ditembak tentara Belanda di depan gereja Rawaselang adalah Samuel.

Namun militer Belanda tak puas sebelum membekuk Yotham. Sejak itulah, dia kemudian menjadi buruan militer Belanda, namun selalu berhasil lolos. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya harus terjatuh jua. Karena ulah seseorang yang masih terbilang saudaranya, militer Belanda akhirnya dapat meringkus Yotham.

Yotham lantas ditahan di penjara Cianjur. Sebagai pejuang gerakan pembebasan, dia mendapat perlakuan sangat buruk: dihina, dipukuli dan disiksa secara psikis maupun fisik. Hampir tiap hari ia dijadikan “mainan” para interogatornya. Namun Si Macan Gunung Halu tetap memilih bungkam dan bertahan.

Karena kekerasan prinsipnya yang bagai baja, para interogatornya menjadi patah arang dan pada suatu hari menyiksa Yotham hingga dia nyaris mati. Dalam kondisi tak sadarkan diri dan mandi darah, dia kemudian dilemparkan ke selnya. Tak ada yang berani menolong Yotham, kecuali seorang haji pemberontak bernama Ali. Dengan telaten, ia merawat Yotham.

Hampir tiga bulan Yotham menjadi pesakitan. Atas jasa adik iparnya yang seorang perwira Belanda, ia berhasil dikeluarkan dari penjara. Tapi dasar tipikal pejuang tangguh, keluar dari bui ia malah langsung bergabung lagi dengan pasukannya. Terakhir Yotham menjadi anggota Batalyon Nasuhi Divisi Siliwangi.

Pasca pengakuan kedaulatan, Yotham memilih menjadi orang sipil. Namun, api perjuangan senantiasa berkobar dalam jiwanya. Kepada anak-anak dan para cucunya, ia selalu menekankan bahwa harus baik-baik memanfaatkan alam kemerdekaan. Di usia senjanya, Yotham dikenang oleh para cucunya sebagai seorang lelaki yang sangat mencintai Indonesia.

“Setiap 17 Agustus, ia selalu ingin merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan secara khusus di rumah bersama anak-anak dan para cucunya.

Foto : Makam Yotham Marchasan (Google.com)

Tahun 1990, Yotham meninggal dengan tenang dalam usia 77 tahun. Jasadnya dikebumikan pada sebuah dataran tinggi di Rawaselang, Gunung Halu, seolah pertanda jiwa raganya tak pernah berhenti untuk menjaga dan mencintai tumpah darahnya tercinta, yang pernah dibelanya dengan keringat, darah dan air mata bersama-sama kawan-kawannya di Batalyon III Hizbullah.

Penulis : Hendi Jo

Sumber : Orang-Orang di Garis Depan. Matapadi Presindo 2018.