PRAJURIT TIMAH DAN PENARI KERTAS

Gambar : Google.com

Kira-kira begitu judulnya dalam Bahasa Indonesia, pada buku cerita yang saya miliki saat kelas 2 SD puluhan tahun yang lalu. Buku tersebut adalah versi terjemahan dari kumpulan dongeng karya Hans Christian Andersen. Semoga anak-anak jaman sekarang masih mengenal siapa beliau.

Kisahnya kira-kira tentang seorang (harusnya sebuah) prajurit mainan, terbuat dari timah, dan berkaki satu. Konon sendok timah tua yang menjadi bahan pembuatnya tidak cukup untuk melengkapi kakinya, setelah dengan sempurna menghasilkan 24 prajurit sempurna yang lain. Bersama ke-24 prajurit timah itu, Si Kaki Satu menjadi hadiah ulang tahun seorang anak.

Mereka semua dikumpulkan bersama mainan yang lain. Salah satu di antaranya adalah seorang (juga, harusnya sebuah) penari balet dari kertas, berdiri anggun dalam istana kardusnya. Sang Penari Kertas sangat cantik. Melampaui semua kecantikan penari kertas yang mungkin ada.

Prajurit Timah Berkaki Satu jatuh cinta pada Penari Kertas. Cinta yang berbalas, karena Penari Kertas juga meraskaan hal yang sama. Apa daya, mereka hanya mainan dari timah dan kertas, yang tidak dapat bergerak sesentipun untuk saling mendekat. Yang bisa dilakukan adalah saling menatap penuh kerinduan dari tempatnya masing-masing. Prajurit Timah berusaha berdiri tegap layaknya seorang prajurit, meski kakinya cuma satu. Penari Kertas dalam pose balet yang anggun, berusaha teguh meski kadang angin membuatnya terombang-ambing. Mereka hanya bisa saling menatap dalam kerinduan; itu sudah lebih dari cukup.

Sampai suatu saat, Prajurit Timah terjatuh keluar jendela, dan petualangannya dimulai. Dari kehujanan dan terjepit bebatuan setelah jatuh, dipaksa berlayar dalam perahu kertas menyusuri selokan, sampai akhirnya tertelan seekor ikan. Ikan, yang kemudian dibeli oleh pelayan di rumah sang anak pemilik mainan. Suatu kebetulan, bukan?

Ketika dibelah, pelayan mendapati Prajurit Timah dalam perut ikan. Prajurit Timah diberikan kepada sang bocah, yang kegirangan karena mendapatkan mainannya kembali. Sebuah kebetulan kembali terjadi: sang bocah menempatkan Prajurit Timah di sisi Penari Kertas. Entah apa maksudnya. Tapi, sejak saat itu, keduanya bisa bersisisan, berbincang, melepaskan kerinduan, dan tentu saja … saling tatap dalam diam.

Konon, dalam cerita itu – atau mungkin dalam ingatan saya yang buruk ini, ada Penyihir Jahat yang tidak suka jika Prajurit Timah dan Penari Kertas saling mencintai. Bukan karena cemburu, bukan pula iri hati. Hanya karena kebencian adalah oposisi dari cinta, sehingga harus hadir di mana pun cinta lahir. Sang Penyihir dengan segala upaya, akhirnya berhasil membuat Prajurit Timah jatuh ke perapian. Saat perlahan meleleh karena panasnya api, Prajurit Timah tetap berusaha menatap lekat-lekat Penari Kertas, mengungkapkan cintanya sampai akhir. Penari Kertas, kemudian melayang terbawa angin – mungkin kakinya tidak lagi sanggup menahan tubuhnya – dan jatuh pula ke perapian.

Di pagi hari, pelayan yang akan membersihkan perapian, menemukan seonggok timah di sisi setumpuk abu, keduanya berbentuk hati.

Kira-kira ceritanya begitu. Saya tidak mengingat rinciannya. Saya hanya mengira, ada banyak ‘Prajurit Timah’ dan ‘Penari Kertas’ di sekitar kita saat ini. Yang berusaha saling mencintai, meski hanya bisa bertatapan dari jauh. Meski nantinya berakhir sebagai onggokan timah dan tumpukan abu berbentuk hati. Mereka ada di sekitar kita, seperti juga ‘Penyihir Jahat’ yang pasti berkeliaran ketika ada cinta yang lahir. Mungkin pula, apa yang kini viral dan diviralkan oleh media yang telaten membentuk dan merawat rasa penasaran publik dengan begitu masif, adalah kisah lain dari Prajurit Timah dan Penari Kertas. Dan kita, tidak perlu macam-macam. Cukuplah untuk tidak menjadi ‘Penyihir Jahat.’ Siapa tahu, akhir ceritanya berbeda.

Itu saja.

PS: Judul aslinya adalah ‘Den Standhaftige Tinsoldat.’ Dalam edisi bahasa Inggris, ‘The Steadfast Tin Soldier.’ Kalau ada yang menemukan edisi bahasa Indonesianya, milikilah dan bacalah. Kisahnya indah sekali.