Senjakala Mobil Pete-Pete

Gambar : boombastis.com

Jumlah mobil keluaran terbaru memang sangat banyak, tapi deru mobil Pete-pete tidak sedikit pun terlihat gentar. Ia masih setia mengantar penumpangnya dan dengan licah, bahkan gesit menyalip sekaligus piawai memainkan emosi dan adrenalin penumpangnya.

Memang fungsinya tidak sefamiliar dulu, namun romansa dan romantisme di atas Pete-pete tetap menarik untuk disimak. Selain berhasil memuat penumpang dari beragam kelas sosial, ternyata ia begitu menghayati nilai perbedaan tradisi, budaya, keyakinan bahkan perbedaan agama penumpangnya.

Secara prinsip, ia berhasil memuat semangat egaliter, maka tidak heran jika ia sering disebut mobil “sejuta umat”. Mozaik keragaman itu masih dapat direngkuh sewaktu menaiki Pete-pete. Bahkan segala bentuk romantisme percintaan kerap diawali dari pertemuan di atas Pete-pete.

Bagi sebahagian orang kisah ini mungkin terkesan picisan, namun dalam wujud nostalgia ia kerap memicu lahirnya kenangan yang mengharu biru. Meski kini ia harus bersiap menyaksikan beragam situasi yang timpang, ketika para sales showroom begitu gencar menawarkan mobil dengan harga, DePe dan cicilan yang kian murah.

Kini laju Pete-pete seolah terengah-engah, deru knalpot dan bunyi klaksonnya terus menyalak seolah mensyaratkan model perlawanan atas kekuatan pasar penjualan mobil yang sudah berhasil melahirkan dua kosakata populer di jalan raya: “macet” dan “semrawut.”

Jalan raya yang saban waktu ia lewati dengan kondisi yang tidak selalu mulus, lengang dan lapang, malah terkadang terjal, menanjak, dipenuhi lubang serta lumpur. Tapi ia tetap saja melaju dan berpacu dengan waktu. Melaju lebih cepat untuk mengekang galaknya hukum cicilan yang tiap hari mengejarnya.

Di titik inilah dilema kenyamanan penumpang menjadi taruhan. Di saat jumlah penumpang yang tidak hanya berkurang, tapi ikut melahirkan rival Pete-pete baru yang lebih bertenaga larinya, sehingga makna ungkapan; “Sesama Pete-pete Dilarang Saling Mendahului,” tak ubahnya sebatas “pemanis bibir” semata.

Tidak lagi seeksotis warna lipstik gadis ranum yang terbiasa duduk diam, sendiri dan termangu di atas Pete-pete, sebelum seorang jejaka tanggung ikut naik menjadi penumpang. Keduanya lazim melempar senyum, kerap bersitatap seraya memandang terik matahari yang menyala-nyala ketika dilihat dari jendela kaca mobil Pete-pete.

Romantisme semacam itu masih dapat ditemukan di atas Pete-pete ketika mengantar penumpangnya menuju ragam titik persinggahan. Terus melajukan harapan keduanya, sebelum gadis itu mendadak menyela; “kiri pak sopir”.