NU Tua NU Muda atau Sebaliknya (Kado Kecil Untuk Harla NU ke 95)

Di kalangan Nahdliyyin ada guyon bernada satir, bunyinya kira-kira begini, kakeknya NU, bapaknya Ansor, ibunya Muslimat, kakak perempuannya Fatayat. Ternyata dia sendiri tidak ikut NU. Malah ikut yang lain.

Fenomena ini banyak sekali ditemui dikalangan keluarga NU. Sehingga timbul pertanyaan, kok bisa ya..?

Memang benar sekarang banyak anak muda dari keluarga NU hijrah ke tempat lain. Mereka lebih sreg bergabung dengan organisasi di luar NU. Atau memiliki pandangan politik yang berbeda dengan orang tuanya di NU.

Ini semua akibat dari kehidupan dan pergaulan pemikiran di kampus tempat mereka menuntut ilmu.

Di kampus itulah anak muda NU banyak mendapat informasi dan referensi. Informasi dan referensi yang terkadang bertentangan secara ideologi maupun pola pikir dengan NU.

Memang di kampus berbagai macam paham, rujukan, bahan dan sebagainya mudah diperoleh tanpa ada filter karena akses informasi luar biasa melimpah.

Di samping itu budaya kampus juga mendukung mahasiswa untuk berpikir kritis dan demokratis. Sangat jauh dibandingkan dengan kehidupan saat nyantri di pondok pesantren.

Di kampus umumnya, telah berkembang dua alam pemikiran yakni radikalisme dan liberalisme. Dua aliran pemikiran yang ditentang keras oleh tokoh NU tua khususnya ulama-ulama sepuh.

Radikalisme dan liberalisme di tengarai sebagai ajaran menyimpang dari dotrin NU, ahlusunnah wal jamaah sehingga pantas dijauhi.

Fenomena inilah yang cukup meresahkan bagi tokoh tua dan ulama sepuh.

Bahkan ada kecenderungan para ulama sepuh sudah tidak berharap lagi kepada anak muda NU untuk memegang tongkat estafet NU ke depan.

Padahal sebenarnya bila ditelusuri lebih dalam munculnya pola pikir radikal di kalangan anak muda NU itu dilandasi oleh kejenuhan terhadap organisasi Islam yang ada.

Mereka menganggap organisasi Islam yang ada kurang progresif dan belum mampu mengatasi masalah Umat Islam sehingga diperlukan keberanian.

Kegelisahan mereka itu akhirnya terjawab dengan bergabung dengan organisasi yang berpaham radikal.

Sedangkan munculnya liberalisme adalah sebuah penolakan secara halus atas ketidaksetujuan terhadap pola pikir tokoh tua atau ulama sepuh yang dianggap kaku dan rigid dalam menghukumi suatu masalah.

Mereka menganggap bahwa jaman sudah berubah sehingga diperlukan pembaharuan yang sesuai dengan perkembangan jaman.

Para anak muda ini beranggapan, perlu ada revolusi dalam pola berpikir yang lebih moderat.

Hal ini tentu sangat ditentang ulama sepuh. Keberanian anak muda itu dianggap sebagai kenakalan yang bisa membahayakan ideologi NU.

Nah, disinilah letak persoalannya. Karena jika dibiarkan hal ini akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Atau batu sandungan bagi terjadinya proses regenerasi dalam tubuh NU.

Dan bila hal ini terjadi tentu amat disayangkan. Karena NU akan menjadi bahan tertawaan organisasi lain karena selama ini NU mengklaim sebagai yang terbesar tapi kenyataannya keropos karena perpecahan.

Tidak hanya masalah organisasi saja yang berbeda. Anak muda NU dan tokoh tua NU sering berseberangan dalam memandang persoalan politik.

Untuk urusan politik Anak muda NU menganggap bahwa tokoh sepuh NU terlalu vulgar memasuki wilayah politik praktis.

Anak-anak muda itu menengarai ada tokoh-tokoh NU yang memiliki kepentingan praktis, sehingga rela menjadikan NU sebagai kendaraan politik. Padahal sudah jelas bahwa NU tidak ikut politik praktis.

Menurut mereka, NU itu seksi sehingga gampang dilirik oleh individu atau kelompok yang memiliki kepentingan pragmatis. NU juga besar dan dibutuhkan oleh pejabat.

Jadi tentu tak elok bagi NU untuk mendatangi mereka. Apalagi sampai mengemis hanya untuk memenuhi hajat segelintir orang tua yang kebetulan jadi elit NU

Atas kenyataan ini, kaum muda tentu tidak mau menuruti keinginan “seniornya”. Sebab para senior itu sudah terlampau jauh terjun di dunia politik. Suatu wilayah yang dianggap oleh anak muda sebagai wilayah abu-abu, tidak jelas mana yang baik dan mana yang buruk.

Melihat fenomena diatas tentunya warga NU wajib prihatin mengingat hal tersebut dapat memicu timbulnya polarisasi. Bahkan bila dibiarkan bukan tidak mungkin dapat menjurus pada perpecahan.

Kita tak ingin di usia yang ke-95, NU terlihat gembrot dan sejahtera tapi loyo penuh dengan penyakit.

Sebaliknya NU harusnya tambah bijak. Tambah lincah bermanuver terutama dalam mencari solusi setiap persoalan. Sehingga sebagian energi NU tak perlu terkuras hanya untuk menghadapi hal-hal yang demikian.

Selamat Hari Lahir NU..

Semoga NU makin dewasa dengan jati dirinya menyebarkan aswaja sekaligus meneguhkan komitmen kebangsaannya yakni menjadi payung besar yang memberi keteduhan bagi Umat Islam dan Umat beragama lainnya di Indonesia.

Bangga menjadi warga Nahdlatul Ulama.