WAJAH LAIN PNS KITA

Foto : Korpri (tempo.co)

Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) baru selesai diperingati. Peringatannya jatuh setiap tanggal 29 November. Tahun ini adalah peringatan yang ke-52.

Korpri sebagai organisasi yang beranggotakan para pegawai negeri sipil (PNS) telah ada sejak pemerintahan di Indonesia terbentuk, sesaat setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.

Selama perjalanan itu, hingga di usianya yang mencapai 52 ini, Korpri telah meninggalkan jejak panjang yang tampak jelas, namun kadangkala pula gelap bagaikan tertutup awan kelam.

Korpri pernah mengalami masa-masa kelabu ketika organisasi ini memberikan dukungan kepada salah satu partai tertentu di masa lalu. Kekeliruan ini dirasakan sendiri oleh Korpri sehingga memutuskan untuk tidak lagi dapat dimobilisasi oleh golongan atau partai tertentu, karena sesungguhnya, Korpri sebagai wadah bagi birokrasi sewajibnya berada pada posisi netral, terlepas dari golongan manapun yang ada di bumi pertiwi ini.

Lancarnya pemerintahan dan keberhasilan program-program yang dibuat pemerintah tidak terlepas dari peran birokrasi yang digerakkan oleh para PNS.

Berdasarkan pengalaman dan profesionalisme yang dimiliki, setiap anggota Korpri harus mampu mengoperasikan kebijakan politik yang diemban oleh negara, sehingga menghasilkan pelbagai karya dan keputusan yang berorientasi pada peningkatan taraf hidup rakyat kecil, penegakan hukum dan kemandirian dalam bidang politik dan ekonomi.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah bagaimana kondisi PNS kita dewasa ini?

Jika kita mau jujur, kondisi PNS kita dewasa ini belumlah begitu menggembirakan, walaupun tetap masih lebih baik dibandingakan masa lalu. Kesan pertama yang dirasakan oleh hampir setiap warga yang berurusan di kantor-kantor pemerintahan tidaklah cukup baik.

Pada umumnya mereka akan bertemu dengan para pegawai berseragam yang kurang ramah, kurang informatif, lambat dalam memberikan pelayanan dan kurang profesional, sehingga birokrasi kita kelihatan sangat kaku.

Birokrasi yang kaku ini bisa menjadi luwes apabila diberi pelicin berupa biaya-biaya inkovensional. Bagi mereka yang membutuhkan pelayanan cepat, pengeluaran ekstra merupakan hal yang dianggap wajar.

Tetapi, hal ini bukanlah persoalan sepele yang bisa kita toleransi terus menerus, karena ia bukan saja bertentangan dengan etika pemerintah, tetapi juga menjadi biang terpeliharanya ekonomi biaya tinggi yang menyusahkan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi mengengah ke bawah. Padahal kedua hal itu, etika pemerintahan dan murahnya biaya kebirokrasian, merupakan tolak ukur keberhasilan pemerintah.

Pengembangan kualitas birokrasi harus dilakukan melalui pembenahan-pembenahan berikut: pola rekrutmen, pemahaman atas komitmen keprofesionalitasan, promosi karier, dan etika birokrasi.

Rekrutmen PNS saat ini belum sepenuhnya menjamin terjaringnya calon-calon terbaik. Diperlukan standar persyaratan yang lebih tinggi dan prosedur eksaminasi yang lebih ketat dalam proses penjaringan calon PNS

Sebaiknya, setelah proses rekrutmen selesai, perlu ada tahap transisi sebelum mereka bertugas dan mendapatkan tanggung jawab kedinasan. Mereka perlu diberikan pendidikan lebih lanjut tentang seluk-beluk pemerintahan termasuk
kepamongprajaan demi menanamkan komitmen yang kuat untuk mengabdi dan melayani masyarakat.

Selain itu, ukuran-ukuran baku yang dapat menjadi acuan objektif untuk promosi karier pun perlu dibuat. Penghargaan pada prestasi, kejujuran, kerja keras dan kedisiplinan seyogyanya dijadikan bahan penilaian bagi promosi karier.

Birokrasi pun mesti sebisa mungkin menjauhkan kecenderungan terjadinya pilih kasih dan nepotisme di dalam praktek promosi jabatan, karena hal ini akan melemahkan semangat berprestasi sehingga komitmen sebagai aparatur negara akan sulit untuk dibangun.

Bila hal itu terwujud, maka semangat untuk berkompetisi secara sehat dalam lingkungan kerja pun akan meningkat. Sejalan dengan promosi yang kompetitif, faktor kesetaraan PNS juga berpengaruh terhadap perilaku dan kualitas pelayanan.

Seorang PNS yang terpaksa mencari tambahan penghasilan dari luar pekerjaannya, apalagi yang sampai memanfaatkan kewenangan yang ada padanya untuk memperoleh tambahan penghasilan, pada dasarnya telah meyimpang dari komitmennya sendiri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Ketersediaaan pedoman bertingkah laku, atau yang dikenal dengan etika pofesi, juga sangat diperlukan dalam upaya membangun semangat pengabdian dan meningkatkan kualitas pelayanan.

Etika tidak sama dengan peraturan disiplin, ia lebih berkaitan dengan moralitas yang menjamin tegaknya wibawa dan citra positif seseorang di mata masyarakat. Cakupan nilainya lebih luas daripada sekadar ketaatan kepada hukum.

Mari kita manfaatkan momentum peringatan HUT ke-52 Korpri pada tahun ini untuk mengubah visi radikal dari para PNS selama ini. Mereka tidak boleh lagi melihat masvarakat sekedar sebagai obyek untuk diemon tapi untuk dihargai sebagai kelompok orang dewasa yang sudah paham pada hak dan kewajibannya.

Kita harus memulai masa di mana pemerintah tidak lagi berperan sebagai pemberi langsung berbagai fasilitas dan utilitas yang dibutuhkan masyarakat, tetapi lebih sebagai fasilitator dan katalisator saja.

“Dirgahayu Korps Pegawai Republik Indonesia!”[*]

Oleh : Rahmanuddin (Pemerhati masalah sosial menetap di Polewali Polman)