Pertengahan tahun 90-an ruh perlawanan terhadap Orde Baru (ORBA) pimpinan Soeharto bertiup sangat kencang. Sentra utama perlawanan berada di kampus-kampus negeri dan swasta di Indonesia. Termasuk di Universitas Hasanuddin (Unhas). Salah satu “Base Camp” perjuangan mahasiswa di Ujung Pandang.
Di kampus itu para aktivis sering berkumpul dan menggalang kekuatan mulai dari tingkat fakultas, antar fakultas hingga merangkul almamater lain.
Umumnya, sebelum turun ke jalan melakukan aksi. Mereka mengadakan orasi terlebih dahulu. Panggung orasinya sering diadakan di tiga tempat. Pertama, di Lapangan FIS, sudut kiri depan Senat Fakultas Sastra (Budaya). Kedua, di depan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) di bawah perpustakaan kampus. Dan ketiga, di pelataran gedung Baruga Andi Pangerang Pettarani.
Saya ingat, beberapa diantara mereka yang sering tampil membawakan orasi. Hasmy, M. Nawir, Ostaf Al-Mustafa, Maqbul Halim, dan beberapa lagi yang lain. Tidak jarang saya saksikan, para dosen pun ikut berorasi seperti Alwi Rahman dan Ishak Ngeljaratan.
Arief Budiman Aktivis Angkatan 66 (kakak kandung Soe Hok Gie) yang baru meninggal sepekan yang lalu, pernah berorasi di lapangan depan Senat Fakultas Sastra.
Selain berorasi untuk membakar semangat. Para aktivis itu juga sering bernyanyi dan membaca puisi. Tentu lagu dan puisi yang dibawakan bertema “Pembakar Semangat”.
Lagu Iwan Fals, Franky Sahilatua dan Grup Swami adalah beberapa lagu yang sering di dendangkan. Sementara puisi, nama Taufik Ismail, W.S Rendra dan Wiji Thukul, adalah langganannya.
Puisi Wiji Thukul yang paling sering saya tunggu dibacakan saat orasi berlangsung. Puisi Wiji Thukul “sarat” dengan kritik sosial yang tajam dan transparan. Ada gelora jiwa dalam tiap untaian kata-katanya. Ada semangat pembangkangang dalam bait-baitnya.
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Di rontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan engkau harus hancur
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang
Puisi Wiji Thukul selalu mewarnai aksi-aksi mahasiswa kala itu. Tanpa puisinya aksi akan terasa seperti sayur tanpa garam. Hambar.
Siapakah Wiji Thukul..?
******
Rumah itu berlantai tanah. Di depannya ada sehelai plastik biru bahan tenda yang biasa di gelar pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk. Satu mesin jahit berada di tengah ruangan, alat pencari nafkah penghuni rumah. Kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar tanpa kran air ledeng.
Tak ada yang istimewa di rumah itu, selain perpustakaan. Di sana ada buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Reymond Williams, Marx.. kebanyakan berbahasa Inggris.
Sesekali terlihat beberapa anak kecil bertelanjang kaki berlarian di bawah terik matahari dengan keringat mengucur menghirup hawa busuk yang menguap dari limbah industri.
Di sinilah Wiji Thukul (WT) beserta keluarganya menetap. Sebuah kampung kumuh di tengah Kota Solo yang di huni bersama tukang becak, kuli rendahan dan buruh pabrik yang miskin.
Di rumahnya dia berupaya mengangkat harkat para “urban poor” ini. Mereka dilatih teater dan berbicara untuk membangkitkan rasa percaya diri bila berhadapan dengan pemilik modal yang menentukan upah mereka dengan sewena-mena. Meski pengusaha punya pembela hukum, mereka tak gentar. Dengan bersatu kekuatan mereka akan lebih besar dan di dengar.
Wiji Thukul melakukan pengorganisasian buruh dan mengajak kaum buruh berjuang untuk memperoleh hak-haknya.
Tercatat dia pernah di tangkap karena memprovokasi warga kampungnya. Memprotes keberadaan limbah pabrik bumbu masak yang berbau busuk. Dia pernah memimpin petani di Ngawi hingga di pukuli militer. Dia juga mengadakan aksi mogok di DPR bersama 5000 buruh PT. Great River dan banyak lagi aksi-aksi lain.
Pernah satu ketika ia memimpin aksi buruh PT. Sritex di Surakarta dan di tangkap petugas. Dia di pukuli hingga matanya hampir buta.
Karena “ulahnya”, Wiji Thukul begitu di benci pemerintah. Pemukulan dan penjara jadi langganannya. Koramil menjadi rumah keduanya.
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada
Dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh di bantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul di tolak tanpa di timbang
Suara di bungkam kritik di larang tanpa alasan
Di tuduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata.. LAWAN
Ketika peristiwa 27 Juli 1996 meletus, banyak aktivis di tangkap. Beberapa di antaranya di culik dan tak kembali. Kuat dugaan mereka di bunuh. Termasuk Wiji Thukul. Namun kabar lain menyatakan Wiji Thukul tidak di bunuh tapi bersembunyi. Dia masih sempat berkomunikasi dengan teman dan keluarganya. Dan betul-betul dinyatakan hilang pada tahun 2000.
Itulah Wiji Thukul. Dia membuat sajak dan puisi tidak untuk menyuarakan kesengsaraan kaum papa. Tapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan. Puisi dan sajaknya bukan hanya hardikan kepada kekuasaan. Tapi juga jalan keluar bagi orang-orang yang di tindas. Jalan yang tidak di sukai penguasa.
Jalan.. PEMBANGKANGAN