SEKEPING HATI

Foto : Google.com

Aku teringat saat kali terakhir Ibu berada di rumah ini.

Ibu meminta uang kepada Ayah, katanya untuk membeli beras yang habis, tapi Ayah marah dan bilang bahwa dia sedang tidak punya uang.

Kemudian, mereka bertengkar, Ibu berkata bahwa Ayah menghamburkan uangnya untuk seorang wanita di luar sana, mereka benar-benar bertengkar hebat, lalu Ibu pergi.

Ya, Ibu pergi dan tidak pernah kembali lagi semenjak hari itu.

Tiga tahun sudah berlalu semenjak kali terakhir Ibu angkat kaki.

Saat ini, aku berusia lima belas tahun dan adikku berusia delapan tahun. Ayah adalah tipe seseorang yang keras, maka aku dan adikku tidak pernah berani untuk bersuara dalam hal apa pun. Kami selalu setuju dan mengangguk, menuruti apa pun perkataan Ayah.

Ayah mau ini, kami turuti.

Ayah mau itu, kami turuti.

Ayah bilang, “Kamu, hiduplah mandiri! Jangan seperti Ibu kamu yang kerjanya minta duit, mengerti?” Aku dan adikku hanya mengangguk takut.

Kami tidak pernah lagi bertemu dengan Ibu.

Seminggu yang lalu, aku mengalami menstruasi, aku kebingungan kala itu, kemudian menyuruh adikku membeli pembalut. Aku bahkan memakainya dengan terbalik!

Sampai akhirnya Nenek datang dan memberi tahu bagaimana caranya memakai pembalut yang benar.

Nenek juga mengajari cara mencucinya dengan bersih dan cara mandi setelah menstruasiku selesai.

Ayah tidak pernah mau tahu soal itu; dia berpikir dirinya yang benar, tapi bagi aku dan adikku dia egois. Ayah selalu ingin kami dapat nilai besar di sekolah, tetapi tidak pernah sekalipun mengajari kami belajar. Berbeda dengan Ibu.

lbu akan terus menyemangatiku saat belajar meski aku sudah bosan dan muak. Awalnya, aku akan menangis, tapi ternyata itu efektif dan akhirnya aku bisa membaca dalam waktu cepat.

Tiga tahun lbu pergi, dia tidak juga kembali.

Kadang aku suka menangis pelan-pelan, meringkuk di balik selimut dengan lampu kamar yang gelap gulita. Kemudian, aku akan sesenggukan karena merindukan lbu.

Aku adalah seseorang yang penakut, biasanya ibu selalu datang menemaniku sampai terlelap sebelum akhirnya pindah ke kamar Ayah dan meninggalkanku tidur bersama Adik.

Kami sangat ingin bertemu dengan Ibu, tapi tidak berani mengatakan itu. Karena setiap harinya Ayah selalu mencerca semua tentang Ibu dengan kata-kata tidak senonoh di hadapan kami, mungkin Ayah ingin mendoktrin pikiran kami untuk membenci Ibu. Kami mendengarkan, tetapi hati kami memberontak.

Aku dan adikku tidak akan pernah bisa membenci malaikat kami, pelindung kami. Ibu yang suka tidak tidur karena mengurusi aku dan adikku yang sering sakit.

Namun, tahun berganti, Ibu tidak juga datang.

Ibu mungkin tidak lagi peduli.

Ibu mungkin sudah lupa denganku dan Adik.

Selama tiga tahun aku dan adikku memakai topeng palsu, bersikap tidak apa-apa, tersenyum dan tertawa. Kami menyembunyikan emosi dan ekspresi karena takut dengan Ayah.

Kami tetap makan bersama, ada pembantu rumah tangga yang bekerja dari pagi sampai maghrib, dia yang mengurusi makanan kami.

Bukan itu saja, tiap kali ada acara keluarga, Ayah mengajak kami pergi. Akan selalu ada komentar usil dari para ibu-ibu, bibi, kerabat jauh bertanya, “Ibumu ke mana? Ibumu kabur, ya? Ibumu pergi dari rumah? Ibumu kenapa tidak mengurus kamu dan Ayah?” Pertanyaan yang tidak pernah kujawab, karena Aku sendiri tidak tahu jiawabannya. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum singkat.

Sementara malam harinya, topeng yang seharian kupakai akhirnya luruh, aku menangis.

Aku rindu Ibu.

***

SUATU hari, setelah tiga tahun kepergian Ibu, Ayah pulang membawa seorang wanita. Awalnya kami pikir wanita itu Ibu. Aku mendengar bunyi pintu mobil ditutup dan melihat dari balik jendela kamar, seseorang berambut panjang turun dengan posisi membelakangi kami.

Aku bilang pada Adik, “Dik, Ibu datang!”

Kami melompat turun dari kasur. Ayah harus tahu, harapan kami tak pernah pudar. Kami terus berharap Ibu datang, lalu kembali lagi ke rumah. Kami keluar kamar dengan perasaan berbunga-bunga, emosi yang membuncah dan mata berkaca-kaca. Aku segera membuka pintu rumah dan mendapati Ayah berdiri di depan, menghadapi aku dan adikku.

Mataku bertemu dengan seorang wanita di samping Ayah. Dia bukan Ibu. Aku tidak tahu dia siapa. “Hai, ini Alena dan Ralin, ya?” Wanita itu berjongkok.

Aku terdiam sementara adikku menarik-narik ujung bajuku.

Alen, Ralin, mulai saat ini panggil dia Bunda.” Ayah memerintah dan semenjak itu, ada wanita baru yang tinggal di rumah, wanita yang kini kami sebut “Bunda”

***

BUNDA tidak jahat. Dia sangat baik, bahkan. Bunda membuatkan sarapan. Dia mengurusi keperluan kami saat ingin berangkat sekolah. Dia yang mengecup kening kami dan mengantar sampai di depan pintu sambil
melambaikan tangan sambil berkata, “Belajar yang baik, ya, Sayang.

“Bunda sangat baik, tetapi Bunda tidak bisa menggantikan posisi Ibu.

Namun, kurasa Ayah tidak perlu tahu itu, yang Ayah tahu hanya “mengganti pekerjaan Ibu,”.

Dia tidak peduli soal rasa, emosi dan nurani, yang terpenting ada seseorang yang bisa mengurusi kami. Peduli setan dengan ekspresi. Kami dibungkam oleh ketakutan. Kami tidak akan berani menyuarakan kata hati.

Sampai akhirnya, Ayah mengajak kami makan malam bersama. Aku melihat Ibu. Awalnya, aku berpikir itu delusi atau halusinasi karena terlalu rindu, nyaris tiap hari aku juga dihantui oleh mimpi tentang Ibu. Saat kami turun dari mobil yang terparkir tak jauh dari sebuah halte bus, barulah aku tersadar bahwa seseorang yang duduk di samping halte itu benar adalah lbu.

Aku memekik, menutup bibirku.

“Yah, itu lbu!” Aku menunjuk ke halte.

Ayah, Bunda, dan Adik berpaling mengikuti telunjukku, Aku bisa melihat wajah Ayah berubah murka, lalu berkata, “Kita pergi, Tidak jadi makan di sini.”

Namun, aku menggeleng. Aku ingin bertemu lbu. Kutarik tangan adikku, kuajak dia menemui lbu, Tidak kuacuhkan tatapan tajam dari Ayah.

Aku berdiri tepat di depan Ibu. Wajah Ibu terlihat lebih tua dari tiga tahun lalu. Rambutnya yang biasa tergerai kini dicepol dan pakaiannya begitu usang.

Dia tampaknya baru pulang bekerja entah dari mana.

“ību,” bibirku bergetar dan air mataku luruh ke pipi. Tubuhku seolah luluh lantak, diterjang ombak hebat lantas membuatku terombang-ambing di lautan. Aku tidak percaya bahwa di hadapanku adalah Ibu. “Bu,” panggilku,
suaraku sumbang.

Beberapa saat, wanita kusam di depanku terpana. Lalu, tanpa berkata apa-apa dia langsung melebarkan tangan.

Adikku langsung menghambur ke pelukan Ibu. Dia peluk Ibu kencang-kencang, tangan mungilnya melingkar di leher Ibu. Kemudian, dia menangis tersedu-sedu, rindu dengan sentuhan dan belaian Ibu yang selalu
menenangkannya tiap kali dia menangis.

Selama tiga tahun terakhir, adikku dipaksa untuk mandiri dan dewasa sebelum waktunya. Dia tidak pernah lagi bersikap manja, atau marah karena keinginannya tidak dituruti. Ayah tidak pernah mengerti. Dia terus memaksa kami untuk bersikap seperti orang dewasa.

Jangan menangis, jangan manja.

Ayah lupa, kami masih kanak-kanak yang memang ingin bermanja.

“Ralin…” Ibu memeluk adikku, mata Ibu memerah dan dia menarik bahuku, ikut menarikku dalam pelukan.

“Ibu kangen sama anak-anak Ibu,” bisiknya.

Ibu beraroma berbeda, tak sewangi dulu. Namun apa pun itu, aromanya masih menenangkan. Ibu adalah malaikat kami, pelindung kami, tak peduli bagaimana penampilannya saat ini.

“Ibu ke mana aja? Kenapa Ibu nggak pulang! Alena sama Ralin kangen Ibu.” Aku akhirnya berani bersuara. Karena hanya Ibu yang mengerti. Ibu yang paham tentang suara hati kami.

Ibu adalah tempat peristirahatan paling terakhir, seseorang yang mau mendengarkan segala masalah dan keluh kesahku di sekolah.

“Kita pulang” Avah sudah berada di belakang kami, dia menarik lenganku dan adik. Kami ditarik paksa sampai pelukan Ibu terlepas. “Sudah cukup, ayo kembali.”

Ibu mendongak, air matanya bercucuran semakin deras.

“Ini mau kamu, kan dari dulu? Kamu yang memilih pergi.” Ayah berteriak. Jadilah kami menjadi perhatian dari orang yang lalu-lalang.

Ibu menggeleng sementara adikku berteriak histeris, tapi Ayah segera menggendong Adik dan aku ditarik oleh Bunda untuk mengikuti Ayah.

Kami pergi, meninggalkan Ibu menangis sendirian.

“AKU mau ketemu sama Ibu!” Aku berteriak di dalan mobil, menangis sejadi-jadinya.

Kalian akan tahu, setiap orang yang terlalu lama memendam perasaan, akan sampai waktunya saat mendapat kesempatan untuk meluapkan emosi. Rasa itu bisa meledak bak bom nuklir yang dilempar.

Luluh lantak.

Begitu juga dengan emosiku saat itu. Aku tidak kuat lagi.

Aku ingin Ibu, Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya.

Sama halnya dengan adikku, dia memberontak dari cengkeraman Bunda yang menyuruh adikku untuk tenang. Dia justru melompat dari kursi belakang dan memukuli lengan Ayah, dia meminta Ayah menghentikan mobilnya. Namun, Ayah tetap tidak mengacuhkan sampai akhirnya adikku – yang juga tidak kupercaya dia berani melakukan itu – menggigit leher ayahku bak vampir haus darah. Ayah memekik.

Mobil berhenti.

Adikku segera melompat membuka pintu dan aku mengikutinya. Kami berlari melewati trotoar, embusan angin malam membelai rambut panjang kami. Tubuhku dingin, tanganku kesemutan dan gemetar. Air mata masih berlinangan di pipiku.

Keinginan aku dan adikku hanya satu: Tuhan, tolong pertemukan kami dengan Ibu. Aku ingin memeluk Ibu, barang kali hanya satu menit. Tidak apa, Tuhan, yang terpenting kami bisa melihat Ibu.

Ibu adalah malaikat tanpa sayap. Ibu tidak punya sayap, tapi dia mampu mengajak kami berkelana dan terbang ke dunia penuh imajinasi untuk menikmati masa kecil kami. Ibu mampu mengajak aku dan adikku berkelana ke negeri dongeng, melalui bibirnya yang bercerita tentang Sangkuriang atau Malin Kundang setiap malam.

Tibalah kami di dekat halte. Ibu masih di sana. Aku dan adikku segera berlari, Ibu berdiri melihat kami. Dari kejauhan aku bisa melihat butiran air mata jatuh di pipinya – air mata bahagia. Ibu membuka lengan lebar-lebar, siap menyambut pelukan aku dan adik.

“Anak-anak Ibu.” Ibu berbisik lirih, lengannya yang terasa gemetar memeluk kami erat-erat. Bibir Ibu menciumi puncak kepala kami bergantian, air mata Ibu sudah bercucuran jatuh menyatu dengan air mata di pipi aku
dan Adik.

Aku, si anak yang berpura-pura dewasa dan tegar di hadapan Ayah, kini berubah menjadi bocah cengeng yang manja di hadapan Ibu. Karena selamanya, hanya Ibu yang bisa mengerti kami. Sejak dulu selalu begitu, Ibu yang mengerti kebutuhan kami.

Ayah mungkin tidak akan pernah tahu: bahwa siapapun wanita yang ada di samping Ayah, dia mungkin bisa menggantikan posisi sebagai istri, tapi dia tidak akan bisa menggantikan posisi seorang ibu.

Ayah bisa saja berpisah dengan Ibu, tapi seorang anak tidak akan bisa berpisah dengan ibunya. Karena Ibu.. satu-satunya orang yang mampu menggenggam jiwa kami.

Sekeping hati kami.

***

Oleh : Erisca Febriani & Firrrr

Sumber : Sekeping Hati (Kumcer). Katadepan 2017.